Powered By Blogger

Rabu, 29 September 2010

TERORISME MENGANCAM NEGARA





TERORISME MENGANCAM NEGARA
Hampir setiap penghujung dan awal tahun baru, masyarakat internasional merasa cemas dan khawatir atas ancaman bahaya terorisme. Aksi teroris di Medan, merupakan peristiwa yang menghantui. Apalagi hampir penyerangan markas polisi yang menewaskan 3 orang polisi tak berdosa.
Terhadap bahaya teroris tersebut, pemerintah Indonesia harus mengantisipasi bukan hanya menggelar gabungan pelatihan TNI dan Polri untuk menanggulangi terorisme. kebijakan penanggulangan terorisme seperti itu tampaknya masih belum mampu menjawab akar masalahnya terorisme. Pengamanan dilakukan TNI dan Polri justru boleh jadi dapat menimbulkan kekerasan negara (state violence), manakala tidak dibarengi pendekatan kesejahteraan (welfare) dan kemakmuran (prosperity). Mereka yang tergolong sedang ditahan atau diadili, maupun yang telah dieksekusi mati, umumnya secara sosial, ekonomi, dan pendidikan terpinggirkan.
Atas dasar fakta tersebut, ada kewajiban hukum dan moral bagi pemerintah Indonesia, untuk melihat lebih dalam akar-akar persoalan, serta motif di balik tindakan teroris tersebut. Ketimpangan sosial-politik dan hukum tersebut, acapkali menjadi ruang kosong sebagian warga negara menggunakan tindakan terorisme yang mencederai kerukunan hidup umat beragama dan perdamaian dalam negeri.
Undang-Undang No 15 tentang Tindak Pidana Terorisme dirasakan telah bekerja efektif dalam mengurangi kuantitas dan kualitas kejahatan teroris di Indonesia. Sebagai instrumen hukum nasional, meski terdapat kekurangan UU Terorisme telah berkesesuaian dengan hukum internasional. Menempatkan kejahatan teroris sebagai kejahatan internasional (international crime). Karena dapat disejajarkan dengan pembunuhan masal etnis, agama dan ras (genocide), kejahatan perang (war crimes), kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) dan kejahatan agresi (crime against agression).
Tetapi, dalam proses hukum acara pidananya, seperti penyelidikan dan penyidikan memiliki perbedaan mendasar. Misalnya, atas dasar prinsip pre-emptive, penangkapan terhadap tersangka dilakukan tanpa bukti memadai menjadi tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Tim Densos 88 Anti Teroris, terdiri dari Polri dan TNI telah menjadi institusi khusus cukup handal. Keterlibatan TNI diatur dalam Pasal 7 UU nomor 34 Tahun 2004 tentang Kedudukan TNI. Oleh karena, terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang membahayakan keutuhan negara, maka TNI ikut serta dalam penanganan terorisme sebagai salah tugas operasdi militer selain perang.
Perbedaan lain dengan kejahatan biasa adalah pemberlakuan prinsip jurisdiksi universal (Universal Jurisdiction), atau dasar erga omnes. Negara-negara di dunia, baik yang pernah dirugikan atau tidak oleh tindakan teroris, diwajibkan melakukan penuntutan atau mengektradisinya bila dikehendaki, termasuk pemberian bantuan hukum. Negara juga tidak diperkenankan memberikan pemaafan, impunity terhadap kejahatan kemanusiaan, termasuk pelaku terorisme (M.Cherif Bassiouni. Law Contemporary Problems. 1997: 17).
Kewaspadaan akan bahaya terorisme menuntut pemerintah Indonesia selalu aktif melakukan kerjasama tukar menukar informasi intelejen dengan penuh asing. Gerakan teroris yang berada di bawah tanah dapat melumpuhkan fasilitas teknologi moderen menjadi tidak efektif. Pusat Intelejen Amerika, CIA gagal mendeteksi secara dini, daerah-daerah vital World Trade Centre dan gedung Pentagon, dari serangan pesawat terbang teroris, suruhan Osama bin Ladin. Konsekuensinya, prosedur hukum tidak berjalan mudah, tapi justru penuh curiga.
Agar penanggulangan kejahatan teroris dapat berfungsi menekan timbulnya ancaman kerukunan hidup antara umat beragama dan perdamaian antara negara tetangga, maka sudah sepantasnya pemerintah Indonesia mengembangkan pendekatan lebih komprehensif, selain pengunaan pendekatan keamanan dan petahanan.
Pertama, pemerintah Indonesia dalam perang melawan terorisme harus berupaya mencegah terjadinya ruang kosong penegakan hukum yang tidak berkeadilan. Terorisme sebagai fenomena global, timbul akibat peran negara mengabaikan keadilan masyarakat lemah.
Kedua, pemerintah Indonesia perlu menindak dengan tegas atas penyebar luasan informasi yang dapat mengeruhkan hubungan harmonis dan kerukunan hidup umat beragama. Penghinaan dan pelecehan atas identitas Islam,
Ketiga, pemerintah Indonesia perlu mengambil pelajaran berharga dari peristiwa teroris. Terutama, dalam menerapkan kebijakan hubungan diplomasi dengan negara-negera tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura. Pelaku teroris bom di Indonesia, umumnya telah mengenyam kehidupan sosial keagamaan di Malaysia, sejak setelah mereka kembali dari kamp-kamp Afganistan tahun 1980-an.
Singkat kata, dalam memerangi terorisme bukan hanya membasmi tapi bagaimana pemerintah menjamin rakyat makmur, rukun dan damai, sudah sepantasnya Presiden SBY menekankan pentingnya pendekatan kesejahteraan dan kemakmuran, selain keamanan dan pertahanan, baik ancaman yang timbul dari dalam dan luar negeri. Agar ruang kosong ketidakadilan sebagian masyarakat yang lemah tidak menjadikan sebagai alasan pembenar tindakan terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar