Powered By Blogger

Sabtu, 04 September 2010

RAHASIA KEHIDUPAN SEORANG MUSLIM

RAHASIA KEHIDUPAN SEORANG MUSLIM




Ibarat sebuah bangunan, ‘aqidah adalah pondasi dari bangunan tersebut. Tegak, dan kokohnya bangunan tergantung pada kuat dan lemahnya pondasi. Bila pondasi itu kuat maka bangunan tersebut akan berdiri dengan kokoh dan kuat. Sebaliknya, bila pondasi bangunan tersebut rapuh, maka seluruh bangunan di atasnya akan sangat mudah untuk runtuh bahkan hancur. Demikian pula kehidupan seseorang, kokoh dan tegaknya kehidupan dirinya sangat tergantung dari kuat dan lemahnya ‘aqidah yang ia miliki. Bila ‘aqidahnya kuat dan kokoh, maka ia akan mampu mengarungi kehidupan ini dengan selamat dan kokoh. Ia tidak mudah diombang-ambingkan badai kehidupan duniawi. Ia akan tetap tegar di tengah goncangan derita dan kenestapaan. Sebaliknya, tatkala ‘aqidahnya lemah, maka ia akan sangat mudah ditimpa keluh kesah, dan ketidaksabaran. Selain itu, dirinya juga sangat rentan dengan derita dan cobaan. Pendiriannya untuk selalu berada di jalan Allah SWT, mudah bergeser, hanya karena sedikit cobaan dan iming-iming duniawi. Seseorang yang lemah ‘aqidahnya akan sangat mudah menyimpang dari aturan-aturan Allah SWT. Mereka suka menyimpangkan aturan-aturan Allah, merubah-rubah, dan menafsirkan firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya, sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Seseorang tidak disebut beriman, hanya sekedar telah mengucapkan syahadat, atau telah mengerjakan hukum Islam. Akan tetapi, dirinya baru bisa disebut beriman, bila ia tunduk patuh, yakin, dan ridha terhadap ketetapan dari Allah SWT. Allah SWT telah berfirman:
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…” (Qs. al-Hujurât [49]: 14).
“Sesungguhnya orang-orang yang berîman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu lagi; dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. ” (Qs. al-Hujurât [49]: 14).
Ayat di atas merupakan penjelasan yang sangat gamblang, bahwa seseorang tidak disebut beriman, bila ia tidak menjalankan seluruh perintah Allah swt dengan penuh ketundukan, keyakinan, dan kepasrahan. Demikianlah seseorang baru absah disebut mukmin, tatkala ia menjalankan seluruh perintah-Nya berdasarkan keyakinan (‘aqidah) yang telah ia yakini kebenarannya secara pasti.
Walhasil, ‘aqidah merupakan faktor terpenting yang harus dimiliki seorang muslim agar dirinya mampu menjalani hidup sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Lalu, ‘aqidah seperti apa yang mampu menjadikan seseorang tangguh dan kokoh dalam bersikap dan berpendirian?
Membangun ‘Aqidah yang Tangguh
‘Aqidah berasal dari bahasa Arab –‘aqada – ya’qidu – ‘aqdan – (artinya adalah simpul/tali). ‘Aqidah ataupun keimanan diartikan sebagai, “Pembenaran pasti yang sejalan dengan fakta dan ditunjang dengan bukti.” Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti, atau masih mengandung keraguan, tidak boleh diyakini ataupun dibenarkan secara pasti. Bahkan, hal-hal semacam ini tidak boleh dijadikan landasan untuk membangun pokok ‘aqidah atau keyakinan. Keimanan telah memastikan bahwa yang diimani tersebut memang benar-benar menyakinan dan tidak mungkin salah lagi. Atas dasar itu, keimanan mutlak memerlukan proses ‘ma’rifat’ (mengetahui) terhadap apa yang wajib diimani. Proses ma’rifat yang bisa menghasilkan keyakinan pasti, harus didasarkan pada proses berfikir yang benar, jernih dan mendalam. Rasulullah Saw telah bersabda, “Al-Imân al-ma’rifat bi al-Qalb qa Qaul bi al-Lisân, wa ‘Amal bi al-Arkân.” (Iman itu adalah ma’rifat [mengetahui] dengan al-qalb (akal), diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan rukun-rukun tertentu). [HR. ath-Thabaraniy]. Hadits ini menjelaskan dengan sangat gamblang, bahwa iman harus dimulai dengan proses ma’rifat (mengetahui), diucapkan dengan lisan, kemudian mengamalkan semua rukun-rukunnya. Oleh karena itu, keimanan seorang muslim harus dibangun berdasarkan proses berfikir mandiri, tidak sekedar ikut-ikutan (taqlid), atau mengikuti perasaan hati. Iman harus dibangun berdasarkan proses berfikir. Mayoritas ulama telah sepakat, bahwa taqlid (ikut-ikutan) dalam masalah ‘aqidah hukumnya haram. Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan, “Tanda kedangkalan ilmu seseorang adalah taqlid (ikut-ikutan) dalam masalah ‘aqidah.”
Tujuan dari proses ma’rifat terhadap apa-apa yang diimani adalah, agar keimanan yang ia tetapkan tidak salah sasaran. Iman kepada hari akhir misalnya, harus benar-benar bisa dibuktikan bahwa itu memang hari akhir yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidaklah tepat, mengimani hari akhir, seperti halnya pemahaman para scientist barat. Mereka telah menyatakan bahwa saat ini telah terjadi hari kiamat, yakni, dengan hancurnya planet-planet akibat tarikan dari black hole, atau galaksi Great Atractor. Iman terhadap Dzat Allah SWT juga harus benar, tidak boleh salah sasaran. Jika iman tidak dibarengi dengan proses ma’rifat (mengetahui), maka bisa jadi, kita merasa mengimani Allah SWT, padahal yang kita imani itu bukan Allah SWT. Atau, kita merasa mengimani surga dan neraka, tapi yang kita imani itu bukan surga dan neraka yang telah diterangkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, agar kita tidak terjatuh kepada keimanan yang salah sasaran, maka proses ma’rifat dengan menggunakan akal, merupakan sebuah keniscayaan. Di sisi lain, keimanan yang telah ditetapkan Allah SWT kepada kita adalah keimanan yang bersifat pasti, tidak boleh ragu. Atas dasar itu, supaya kita mendapatkan keimanan yang tangguh dan menyakinkan, maka keimanan tersebut harus bisa dibuktikan kebenarannya secara ‘aqliy maupun naqliy melalui proses berfikir yang benar, jernih dan mendalam.
Tidak ragu lagi, keimanan yang kokoh dan tangguh hanya bisa didapatkan dengan melakukan proses berfikir yang benar, jernih dan mendalam. Keimanan yang tangguh telah meniadakan unsur ikut-ikutan (taqlid) dalam masalah ‘aqidah. Sebab, keimanan yang diperoleh tidak dengan proses berfikir jernih dan mendalam, atau taqlid, sangat rentan dengan kesalahan-kesalahan. Bahkan, ia bisa menjatuhkan seseorang dalam kesesatan, dan tahayul. Di sisi lain kita telah memahami bahwa keimanan adalah pembenaran yang bersifat pasti, tanpa ada sedikitpun keraguan. Walhasil, ‘aqidah yang tangguh hanya bisa diperoleh dengan proses berfikir yang jernih dan mendalam.
Proses Berfikir Mandiri
Manusia telah diberi oleh Allah kemampuan untuk berfikir. Kemampuan ini merupakan faktor pembeda antara dirinya dengan makhluk Allah yang lain. Dengan akalnya pula, manusia bisa mencapai kedudukan lebih mulia dibandingkan makhluk yang lain, termasuk malaikat. Lalu, apa berfikir itu?
Berfikir adalah, “Memberikan justifikasi atas sesuatu dari sudut pandangan tertentu.” Oleh karena itu, berfikir Islami adalah, “Memberikan justifikasi atas sesuatu dari sudut pandangan Islam.”
Berdasarkan definisi semacam ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa komponen yang terlibat dalam proses berfikir adalah, (1) fakta, (2) indera, (3) otak normal, (4) informasi sebelumnya. Inilah empat komponen utama dalam proses berfikir. Fakta merupakan obyek yang hendak hendak dinilai. Indera merupakan seperangkat organ tubuh yang berfungsi sebagai alat pengindera. Indera akan mencerap fakta, kemudian fakta yang telah dicerap oleh indera tersebut dikirim ke dalam otak. Setelah sampai di otak, fakta tersebut kemudian ditafsirkan berdasarkan informasi yang telah ada di dalam otak sebelum proses pencerapan itu terjadi.
Demikian juga, tatkala kita memikirkan wujud Allah SWT, indera hanya bisa mencerap sesuatu yang bisa dijangkaunya. Indera tidak bisa melampui batas cerapnya sendiri. Telinga misalnya, ia tidak bisa menangkap frekuensi yang melebihi atau kurang dari 16-20 ribu Hz. Akan tetapi, makhluk-makhluk lain telah diberi kemampuan untuk mencerap suara melebihi 50 ribu Hz, seperti kucing. Kelelawar mampu mencerap frekuensi sekitar 120 ribu Hz. Akan tetapi, secara umum bisa dinyatakan bahwa fakta yang bisa dicerap oleh akal manusia adalah alam semesta, kehidupan (spirit), dan manusia itu sendiri.
Wujud Allah SWT bisa dibuktikan dengan sekedar mengamati alam semesta, manusia, dan spirit (kehidupan). Bila anda mengamati alam semesta, manusia, dan kehidupan, maka anda akan berkesimpulan bahwa dibalik tiga hal tersebut ada yang menciptakan, yakni al-Khaliq al-Mudabbir (Sang Pencipta dan Pengatur). Keimanan terhadap al-Khaliq al-Mudabbir, merupakan keimanan yang pasti, tidak ada keraguan lagi. Akal bisa menetapkan secara pasti bahwa di balik alam semesta, kehidupan, dan manusia ada Wujud Yang Menciptakan ketiganya. Dialah al-Khaliq al-Mudabbir (Sang Pencipta dan Sang Pengatur).
Lalu, siapakah al-Khaliq itu? Bagaimana Sifat-Sifat-Nya, Nama-Nya, dan Perbuatan-Nya? Bagaimana cara menyembah-Nya?
Sifat, Nama, Perbuatan al-Khaliq termasuk pula bagaimana cara menyembah-Nya adalah hal-hal yang tidak mungkin dijangkau oleh akal. Akal tidak mampu memahami Dzat al-Khaliq, termasuk menetapkan cara penyembahan terhadap-Nya dengan pemahaman yang benar. Secara akal, agar kita mengenal (ma’rifat) kepada al-Khaliq dari sisi Dzat-Nya, dan juga ma’rifat dari sisi, bagaimana cara menyembah-Nya, maka harus ada informasi (berita) dari al-Khaliq itu sendiri yang sampai kepada manusia. Pencitraan terhadap al-Khaliq, termasuk penetapan cara penyembahan kepada Diri-Nya, harus datang dari al-Khaliq sendiri. Akal manusia tidak akan mampu menjangkau hal-hal yang berada di luar akalnya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan informasi yang berasal dari al-Khaliq.
Bila demikian, manusia sangat membutuhkan kehadiran seseorang yang bisa menjadi penghubung antara dirinya dengan al-Khaliq. Penghubung itu adalah seorang Rasul yang benar-benar dipilih oleh al-Khaliq untuk menyampaikan berita kepada manusia.
Tidak ragu lagi, manusia bisa menetapkan dengan ‘akalnya, bahwa dirinya butuh kehadiran seorang Rasul yang diutus oleh al-Khaliq, agar ia mendapatkan informasi yang benar tentang al-Khaliq, termasuk cara menyembah-Nya. Pertanyaan berikutnya, apakah Muhammad itu benar-benar Rasulullah, atau bukan? Akallah yang berperan dalam menetapkan, apakah Muhammad itu benar-benar utusan Allah, atau bukan?
Muhammad datang dengan membawa al-Qur’an al-Karim untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar utusan Allah SWT. Akan tetapi, harus diuji dahulu dengan akal, apakah al-Qur’an al-Karim tersebut buatan Muhammad, atau benar-benar dari Allah SWT. Dengan mencurahkan segenap kemampuan berfikir, kita akan berkesimpulan bahwa al-Qur’an itu benar-benar Kalamullah. Bila al-Qur’an telah terbukti berasal dari Allah SWT, secara otomatis pula, Muhammad absah diakui sebagai Rasulullah.
Seseorang yang telah mengimani al-Qur’an tanpa keraguan sedikitpun, pasti juga akan mengimani seluruh apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an disebutkan tentang hari Kiamat, surga, neraka, ajal, rejeki datang dari Allah, dan lain-lainnya. Semua itu harus diimani tanpa keraguan sedikitpun.
Namun demikian, iman tidak cukup diyakini dengan hati, akan tetapi harus diucapkan dengan lisan, dan harus dikerjakan dengan amal perbuatan. Seseorang belum dikatakan mukmin tatkala ia belum berikrar menyatakan dua kalimat syahadat; dan belum melaksanakan seluruh konsekuensi dari keimanannya tersebut, yakni, menjalan aturan Allah SWT secara total tanpa pilih-pilih lagi.
Di sinilah kita bisa memahami secara ringkas, bahwa amal perbuatan manusia harus selalu bersumber pada keyakinannya. Tatkala ia berbuat harus selalu dibangun di atas keyakinannya yang pasti SWT. Ringkasnya, kehidupan seorang muslim harus selalu ditopang oleh ‘aqidah Islamiyyah. Ia tidak boleh melakukan aktivitas apapun dengan tidak didorong oleh ‘aqidah Islam.
Sungguh, bila anda mengkaji dan mendalami persoalan ini, maka anda akan berkesimpulan, bahwa hanya dengan ‘aqidah yang tangguh dan kokoh sajalah, kemudian menjalankan seluruh aturan Islam, anda akan bisa mengarungi kehidupan ini dengan benar, terarah, dan akan berakhir pada perjumpaan dengan Allah SWT kelak di hari akhir. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 110).
Betapa bahagianya seorang muslim, tatkala kelak di hari akhir bisa bertemu dengan Allah SWT.[khabarilsam.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar