Powered By Blogger

Sabtu, 04 September 2010

sejarah sembilan wali

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 15 dan 16. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Nama-nama Walisongo
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
* Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
* Sunan Ampel atau Raden Rahmat
* Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
* Sunan Drajat atau Raden Qasim
* Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
* Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
* Sunan Kalijaga atau Raden Said
* Sunan Muria atau Raden Umar Said
* Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[1] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra Maulana Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Bonang, sederetan gong kecil diletakkan horisontal.
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus adalah keturunan ke-14 dari Husain bin Ali. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
Sunan Muria
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.
Sunan Gunung Jati
Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat Makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut:
* L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[6] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
* van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[7] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [8].
Sumber tertulis tentang Walisongo
1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Wallahualam.
Komentar (1)
Lagenda Taman Hutan Gunung Ledang
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 5:39 am


TANGKAK: Taman Hutan Lagenda Gunung Ledang yang mula dibuka kepada orang ramai sejak Julai 2003, semakin mendapat sambutan berikutan keindahan alam sekitarnya.
Dengan kehijauan hutan dan alam semula jadinya, taman seluas 8,611 hektar yang terletak di kaki Gunung Ledang di Sagil itu, diwartakan sebagai taman negara pada 3 Oktober 2005.
Jika sebelum ini pelancong lebih tertumpu di kawasan air terjun di Gunung Ledang Resort sebagai kawasan rekreasi, Taman Hutan Lagenda itu memberikan pilihan kepada mereka yang lebih mementingkan ketenangan dan suasana hutan.
Selain itu, Taman Hutan Lagenda Gunung Ledang yang menjadi pintu masuk untuk ke puncak gunung itu juga adalah tempat paling sesuai untuk program bina semangat dengan pelbagai kemudahan lengkap.
Pembangunan di kawasan itu juga dibuat dengan menggunakan kaedah meminimumkan penebangan pokok bagi memastikannya tidak menjejaskan alam sekitar dan nilai keasliannya yang menjadi lokasi berharga kepada pencintanya.
Malah, bilangan pengunjung ke kawasan itu juga dihadkan bagi memastikannya tidak terlalu terdedah dengan kehadiran orang ramai yang boleh menyumbang kepada kemusnahan kawasan hutan, sekali gus menjejaskan anugerah alam yang bernilai ribuan tahun.
Penguatkuasaan yang ketat dengan mengenakan beberapa peraturan kepada pengunjungnya berjaya mengekalkan keaslian taman hutan itu, sekali gus menjadikannya lokasi menarik.
SUASANA damai di Taman Hutan Lagenda Gunung Ledang.
Perbadanan Taman Negara Johor mengambil langkah berhati-hati dan merancang setiap kegiatan di kawasan itu dengan mengambil kira pengekalan ciri hutan rimba.
Pada masa ini, kawasan itu mempunyai kompleks pelawat yang berfungsi sebagai pusat latihan dan maklumat, dewan, asrama, chalet, tapak perkhemahan, pondok dan kafetaria.
Seorang peserta kem bina semangat di taman itu, Mohd Hardi Abdullah, berkata selain mendaki gunung, pelbagai kegiatan boleh dijalankan di kawasan terbabit termasuk program motivasi dan kegiatan lasak.
Katanya, beliau terpesona dengan keindahan alam sekitar yang tidak tercemar terutama kejernihan dan kesejukan air sungai yang sukar didapati di kawasan lain.
“Sungai yang mempunyai kumpulan ikan kecil juga memberikan rawatan spa percuma kerana apabila merendamkan kaki, ia akan menggigit sisa sel kulit mati, sekali gus memberikan rasa nyaman,” katanya.
Sehubungan itu beliau berharap pihak berkuasa terus menjalankan peraturan dan penguatkuasaan ketat bagi mengekalkan keaslian hutan itu serta pada masa yang sama membolehkan pelbagai kegiatan kem bina semangat dan pendakian dapat dijalankan.
Bagi urus setia yang mengendalikan kursus kepada pegawai Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN), Mohd Nordhamin Mohd Amran, kehijauan alam sekitar kawasan itu yang masih terpelihara memberi peluang kepada peserta menghayati keaslian alam sekitar serta pada masa sama menjalani program membentuk jati diri.
Sehubungan itu, beliau tidak menolak untuk mengadakan lebih banyak program di taman hutan itu bagi memberi peluang kepada peserta menikmati keistimewaannya yang sukar ditemui di kawasan lain.
“Sudah banyak tempat yang saya pergi tetapi Taman Hutan Gunung Ledang ini paling istimewa kerana ia masih terjaga dengan penguatkuasaan bagi memastikannya tidak tercemar dengan kegiatan manusia,” katanya.
FAKTA: Taman Hutan Lagenda Gunung Ledang
# Nama gunung itu dikatakan berasal daripada bahasa Jawa ketika zaman empayar Majapahit yang bermaksud Gunung Dari Kejauhan atau Gunung Yang Tinggi. Malah, dalam kamus Dewan dan Pustaka menyatakan Ledang bermaksud `menunjukkan diri’ atau tinggi.
# Negara Barat mengenalinya sebagai Mount Ophir iaitu berasal daripada bahasa Yahudi tua atau Hebrew yang turut tercatat dalam Kitab Zabur yang antara lain menyatakan kawasan itu mempunyai banyak logam emas.
# Bagi pedagang Cina pula, gunung itu digelar sebagai Kim Sua yang bermaksud Gunung Emas.
# Terkenal dengan lagenda Puteri Gunung Ledang dan kepercayaan mistik lain yang sehingga kini masih belum terungkai.
# Memiliki sungai dan air terjun yang bersih dan jernih selain kehadiran anak ikan yang turut menjadi ikan spa kepada pengunjung yang merendamkan kaki mereka.
# Gunung itu juga mempunyai trek pendakian yang mencabar sehingga menjadi antara gunung yang sukar didaki di negara ini.
# Memiliki pelbagai spesis flora dan fauna, termasuk orkid, periuk kera, tumbuhan herba, burung dan serangga.
Wasalam.
Tinggalkan Komen
EPDC ke Gunung Ledang
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 5:11 am

Tinggalkan Komen
Mei 6, 2010
500 wanita Bogor bersedia menjanda
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 10:55 am


BOGOR (Pos Kota) – Jadi janda..? Siapa takut. Itulah barangkali fenomena yang mencuat belakangan ini bagi sebagian kaum hawa di wilayah Kabupaten Bogor. Setidaknya 500-an wanita Bogor siap menjanda setelah mengajukan gugatan cerai kepada suami (cerai gugat) karena berbagai alasan.
Masalah ekonomi masih menjadi penyebab utama perceraian diikuti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan. Pengadilan Agama (PA) Cibinong selama Januari hingga 26 Maret 2010 menerima 522 berkas pengajuan cerai. “Kasus tersebut masih dalam proses,” ujar humas PA Cibinong Abdul Hamid, Senin (29/3).
Sebagian besar gugatan perceraian diajukan pihak istri atau istilahnya cerai gugat.
Apa yang menjadi pemicu perceraian, menurut data yang tercatat di pengadilan agama setempat, penyebab penceraian masih didominasi permasalahan ekonomi. Tapi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan, persentasenya juga relatif tinggi sebagai pemicu timbulnya percekcokan sehingga mengajukan
perceraian.
“Sebagian kecil pihak istri juga mengaku ingin bercerai karena suaminya menikah kembali,” tambah Abdul Hamid.
Seperti dalam sidang perceraian antara Tubagus, 38, digugat cerai istrinya Ny. Yuni,29. Faktor pemicunya karena masalah ekonomi. Kemarin, sidang warga Desa Bojong-nangka, Kecamatan Cileung-si ini berlangsung singkat.
Sebelumnya pasangan yang sudah 12 tahun menikah sudah dua kali menjalani sidang termasuk dilakukan mediasi.
“Saya keukeh minta cerai karena tak tahan lagi,” ucap Ny. Yuni kepada majelis hakim. Berdasarkan berkas gugatnya, diketahui Ny.Yuni minta cerai lantaran sudah dua tahunan setengah tak diberi nafkah ekonomi. Selama itulah ibu dua anak ini berdagang nasi, sementara suaminya tak punya pekerjaan tetap.
TIAP HARI 40 SIDANG
Banyaknya pengajuan Cerai ini pun membuat setiap hari sedikitnya 40 sidang perceraian berlangsung di PA Ci ln riliun.y Bahkan, sejak dua minggu ini PA Cibinong melangsungkan sidang perceraian sampai dengan hari Jumat.
“Sebelumnya sidang hanya berlangsung dari Senin hingga Kamis, tapi karena tingginya perkara dan adanya penambahan hakim,” ujarnya. Dikatakan Hamid, setiap harinya ada dua hakim yang memimpin 20 sidang perceraian. “Jumlah hakim yang ada 10 orang, delapan di antaranya juga berperan sebagai mediator,” tutur Hamid.(iwun/si/j)
Tinggalkan Komen
Mujahadah
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 9:36 am


وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Al-’Ankabut [29:69]
“Dan orang-orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh kerana memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami ( yang menjadikan mereka gembira dan beroleh keredaan) dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah berserta orang-orang yang berusaha membaiki amalannya”. (Tafsir Pimpinan al-Rahman;1052)
Ayat 69 ini adalah penutup dan kesimpulan kepada surah al-`Ankabut. Ia juga sebagai sebahagian pentafsiran kepada ayat keenam surah al-Fatihah.
“ Tunjukkanlah kepada kami jalanMu yang lurus”..
Jalan yang lurus hanyalah satu. Jalan yang telah dilalui oleh para nabi, siddiqin (golongan yang melaksanakan janji mereka kepada Allah) golongan yang mendapat gelaran syuhada’ dan orang-orang soleh yang sentiasa membuat kebajikan.
Mujahadah syarat mendapat petunjuk.
Hidayah atau petunjuk Allah hanya diberikan kepada sesiapa yang sanggup bermujahadah ; berusaha bersungguh-sungguh dalam menunaikan tanggungjawab agama iaitu tanggungjawab melaksanakan tuntunan keimanan dan amal-amal soleh.
Berasaskan hakikat ini Allah Azza wa Jalla membimbing rasulullah s.a.w. dalam membuat perubahan dalam diri sahabat r.a. daripada Jahiliyyah kepada Islam melalui proses tazkiyyah (menyucikan diri daripada aqidah yang sesat dan akhlak yang buruk) dan tarbiyyah ( mempelajari dan membina keimanan yang sebenar dan membentuk perilaku yang terpuji dalam diri) dengan cara bermujahadah.
Mereka bermujahadah melawan kejahilan dengan berlumba-lumba menghadiri majlis ilmu bersama rasulullah s.a.w. Mereka bermujahadah membersihkan akhlak-akhlak mazmumah dengan mengisi dengan akhlak mahmudah dengan sentiasa membaca al-quran, berqiamullail dan bersabar menahan tentangan kafir Quraisy.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَاب وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Al-Jumu’ah [62:2]
”Dialah yang mengutuskan dalam kalangan orang-orang ( Arab) yang ummiyyin (tidak tahu menulis dan membaca) seorang rasul ( nabi Muhammad s.a.w) dari bangsa mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah ( Al-Quran yang membuktikan keesaan Allah dan kekuasaan) dan membersihkan mereka daripada i’tiqad yang sesat, serta mengajarkan mereka kitab Allah ( al-Quran ) dan Hikmah ( pengetahuan yang mendalam mengenai hukum-hukum Syara’) . Dan sesungguhnya mereka sebelum kedatangan nabi itu adalah dalam kesesatan yang nyata;” ( Ibid: m.s.1507)
Mujahadah asas perubahan.
Metodologi merubah manusia yang dilakukan oleh nabi s.a.w. ialah dengan memastikan para sahabat membersihkan jahiliyyah i’tiqad dan akhlak dalam diri dengan menuntut ilmu, membina iman dan akhlak mahmudah melalui bermujahadah nafsu untuk menuntut ilmu, mujahadah nafsu untuk melakukan ibadah khusus kepada Allah seperti qiamullail dan membaca al-Quran dan mujahadah diri untuk melakukan amal-amal soleh seperti bersedakah, berdakwah dan membimbing sahabat-sahabat yang baru memeluk Islam.
Dalam muqaddimah surah al-Ankabut ini Allah menjelaskan tentang hakikat kehidupan didunia, hakikat keimanan dan amal-amal soleh.
Dunia pentas ujian dan Akhirat tempat pembalasan
. أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (29:2)
“Patutkah manusia menyangka bahawa mereka akan dibiarkan dengan hanya berkata: kami telah beriman? Sedangkan mereka tidak diuji ( dengan sesuatu cubaan) ( ibid: ms.1031).
Hidup di dunia sebagai tempat ujian merupakan hakikat kehidupan yang sebenar di dunia ini. Inilah sunnatullah dan kehendak Allah yang tidak ada sesiapapun terlepas daripadanya. Umat-umat terdahulu dikalangan para nabi diuji untuk beriman kepada Allah, beramal soleh dengan mengajak manusia agar beriman dan melakukan kerja-kerja kebajikan. Ujian hidup ini menjadi pengukur dalam membuktikan siapakah golongan yang beriman dan siapakah golongan yang kufur dan munafik.
Mujahadah syarat kejayaan.
Untuk memastikan kejayaan dalam mengharungi ujian Allah ini manusia perlu beriman dan bermujahadah bagi melakukan amal-amal soleh dan bersabar menanggung kesakitan berdakwah dan berjihad dijalan Allah.
وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (29:6)
” Dan sesiapa yang berjuang (untuk menegakkan Islam) maka sesungguhnya dia hanyalah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri; sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak berhajat sesuatupun daripada sekelian makhluk.)” (ibid: ms.1032)
Bermujahadah merupakan sifat terpenting yang perlu ada kepada sesiapa yang ingin mendapat hidayah Allah, ingin memantapkan keyakinan dan keimanan di dalam hati, ingin membentuk sifat-sifat dan akhlak unggul dalam diri dan inginkan kejayaan hakiki di akhirat nanti.
Gelaran mujahid dan mendapat pahala sebagai syahid merupakan setinggi-tinggi gelaran yang diimpikan oleh setiap orang yang beriman. Ia merupakan pengiktirafan Allah terhadap penerimaanNya terhadap ucapan Syahadah yang diucapkan oleh seorang yang beriman.
Dalam surah al-`Ankabut ini Allah menceritakan kisah para nabi yang berjihad dan bermujahadah melakukan amal soleh yang kemuncaknya ialah berjihad menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Jalan para nabi inilah menjadi jalan yang lurus, jalan golongan yang mendapat hidayah Allah yang perlu dilalui oleh setiap orang yang beriman.
Meninggalkan Jihad sifat munafik.
Sikap berdiam diri terhadap maksiat dan kemungkaran, meninggalkan golongan yang berdakwah ke Allah dan tidak memberi sokongan kepada usaha mereka lebih hampir kepada ciri-ciri seorang yang munafik dan berpura-pura beriman kepada Allah.
Golongan ini lebih mementingkan kerehatan hidup di dunia, mementingkan keredaan manusia yang kafir dan fasik dan melupai kehidupan sbenar dinegeri akhirat.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِن جَاء نَصْرٌ مِّن رَّبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ (29:10)
“ Dan ada sebahagian dari manusia yang berkata : ”kami beriman kepada Allah”; kemudian apabila ia diganggu dan disakiti pada jalan Allah, ia jadikan gangguan manusia itu seperti azab Allah ( lalu dia taatkan manusia). Dan jika datang pertolongan dari Tuhanmu memberi kemenangan kepadamu mereka sudah tentu akan berkata; ”kami sentiasa bersama kamu” ( Mengapa mereka berdusta) Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang terpendam di dalam hati sekelian makhluk” ( ibid; 1033)
Bermujahdahlah
Tentanglah nafsumu
Lawanlah kejahilan dengan cahaya ilmu
Cahaya keimanan
Cahaya kesabaran
Berjuanglah bersama orang yang berjuang.
Kejayaan bukan dengan merentas benua
Tetapi,
pisahkanlah nafsumu darimu selangkah.
Akan tercapailah maksudmu.
Tinggalkan Komen
Mei 5, 2010
Tasauf cabang ugama yang dizalimi
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 6:31 pm


DALAM siri tulisan mengenai tajdid di minggu-minggu yang lalu ada disebut bahawa tasauf kerap menjadi sasaran sesetengah aliran mereka yang mendakwa tajdid.
Tasauf, tarekat dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya sering dimomokkan oleh mereka seolah-olah setiap yang bernama tasauf dan tarekat itu sesat, bidaah dan khurafat.
Strategi memomokkan istilah ini sebenarnya suatu cubaan mengunci minda dan menjadikan masyarakat jauh hati daripada tasauf tanpa benar-benar mengenali dan memahaminya dengan tepat.
Mereka ini sedar jika masyarakat meneliti dan mendekati tasauf dengan adil dan bersungguh-sungguh, kefahaman dan penghayatan yang murni terhadap tasauf akan menjadi salah satu benteng yang memisahkan masyarakat daripada terpengaruh aliran yang ingin mereka juarai.
Tasauf sebagai cabang ihsan
Kunci utama kepada kefahaman yang murni terhadap tasauf adalah dengan menyedari bahawa sebenarnya ia tidaklah melainkan cabang atau dimensi Ihsan daripada agama kita.
Ihsan selain daripada Islam dan iman serta kesedaran tentang akhir zaman merupakan cabang dan dimensi utama al-Din seperti yang kita semua tahu daripada hadis Jibril yang merupakan antara induk hadis-hadis Nabi SAW.
Begitu besar pengajaran yang hendak dibawa melalui hadis tersebut sehingga Jibril telah menyampaikan secara istimewa iaitu dengan merupakan dirinya sebagai manusia dan berdialog secara langsung dengan Nabi SAW bersaksikan para sahabat.
Dari situ, kita semua maklum bahawa agama yang kita anuti ini sebenarnya terdiri daripada tiga cabang Islam, iman dan ihsan yang terjelma kepada tiga cabang ilmu utama agama iaitu syariah, akidah dan akhlak.
Tiga istilah alternatif bagi ilmu-ilmu ini adalah fiqh, tauhid dan tasauf. Jadi sebenarnya dalam peta minda Islam, tasauf adalah istilah lain bagi dimensi ihsan atau akhlak.
Jika itulah kedudukan tasauf dalam kerangka faham agama kita, tidak peliklah jika kita melihat para ulama muktabar sepanjang zaman, sebagai mereka yang paling menguasai selok-belok agama ini, bersikap sangat positif terhadap tasauf dan dunia tasauf.
Kebanyakan mereka terjun langsung ke dalam dunia tersebut dengan mengamal, mengajar dan mengarang kitab-kitab rujukan dalam bidang ini. Selebihnya menjadi mereka yang mencintai para ulama dan pemuka tasauf atau sekurang-kurangnya tidak mengambil sikap memusuhi mereka.
Imej-imej negatif tasauf
Tetapi kenapa masih ada yang takut dengan tasauf atau memandangnya sebagai asing atau negatif?
Jika direnungi, tasauf adalah dimensi dalaman atau batin agama kita. Kerana sifatnya itu telah timbul salah-faham dan kekeliruan terutama di peringkat amalan dan perbahasan yang lebih tinggi.
Mendekati tasauf di tahap yang tinggi tanpa panduan guru yang berkelayakan boleh menyebabkan timbulnya ajaran sesat. Bila ini berlaku, ajaran-ajaran salah ini sering mendapat liputan meluas dan sensasi di media seperti dalam kes Hassan Anak Rimau, Ayah Pin dan al-Arqam.
Kumpulan dan ajaran tasauf yang menyeleweng sering menggunakan istilah-istilah dalam dunia tasauf seperti tarekat, sheikh, mursyid, aurad, kasyaf, yaqazah dan seumpamanya. Akhirnya istilah-istilah ini turut terpalit dan dilihat negatif sedangkan hakikatnya tidak begitu.
Sebenarnya penyelewengan turut berlaku dalam cabang lain seperti syariah. Malah penyelewengan dalam cabang syariah mungkin lebih meluas dan melibatkan lebih ramai orang dan kumpulan.
Cuma mungkin kesannya tidak begitu kelihatan atau kurang dirasakan oleh mereka yang terlibat. Bukankah masih banyak penyelewengan daripada landasan hukum syariah yang ada dalam masyarakat kita?
Dalam bidang dan kumpulan mana pun akan ada mereka yang menyeleweng atau ekstrem. Soalnya, adakah kita adil menilai dan menghukum sesuatu bidang atau kumpulan hanya dengan merujuk kepada mereka yang menyeleweng atau sesat yang muncul dari bidang atau kumpulan itu?
Jika begitu, banyaklah bidang dan cabang ilmu yang harus kita tolak kerana adanya bebiri hitam yang muncul daripada kalangan pengamalnya!
Adakah bijak kita meminggirkan tasauf hanya kerana beberapa individu dan kelompok yang sesat yang timbul dari dunia tasauf?
Segelintir mereka yang salah menghayati tasauf juga menyebabkan timbul imej seolah-olah tasauf adalah anti-dunia, anti-kemajuan dan anti-perjuangan.
Harus diingat, jika tasauf hendak dinilai dengan neraca seseorang yang memang tenggelam dan mabuk dengan dunia dan material memanglah tasauf akan dilihat pasif dan tidak cukup dinamik.
Ada juga orang yang baik-baik dan minatkan agama tetapi punya tanggapan bahawa tasauf adalah ilmu yang terlalu tinggi untuk mereka. “Kami belum layak mengaji tasauf”, kata mereka.
Ini juga satu sindrom yang amat merugikan kerana ia menjauhkan mereka daripada apa yang amat diperlukan dalam kehidupan mereka.
Siapakah di kalangan kita yang tidak perlukan penyucian diri dan peningkatan kerohanian?
Malah ini adalah suatu keperluan bagi setiap Muslim pada setiap ketika dalam hidupnya. Kita akan jelaskan nanti betapa tasauf, seperti juga ilmu-ilmu lain ada tahap dan peringkat-peringkatnya.
Selagi mana kita mendatangi tasauf mengikut tahap dan kaedahnya, dengan bimbingan guru yang layak maka tidak timbul sindrom tidak layak atau belum sesuai belajar tasauf.
Ada juga di sana kelompok dan kumpulan yang sentiasa mencemburui dunia tasauf dan pendokongnya kerana tasauf dilihat sebagai aliran tandingan kepada aliran yang mereka juarai.
Lantas mereka sering cuba menempelkan label-label bidaah, khurafat dan taksub kepada tasauf.
Insya-Allah kita akan membahaskan asas-asas al-Quran dan al-sunnah di sebalik tasauf. Jika difahami dengan jujur, tasauf yang murni adalah bebas daripada label-label ini.
Sebaliknya, jika diteliti, kelompok yang mentohmah tasauf, sering terlibat dengan unsur-unsur bidaah, khurafat dan taksub.
Tengok sahaja bagaimana mereka menjulang tokoh-tokoh mereka sendiri dalam pelbagai bentuk dan cara. Seolah-olah tokoh-tokoh ini sahaja yang memonopoli kefahaman dan kebenaran. Bukankah ini taksub walaupun tiada tangan yang dicium atau berkat yang diambil?
utusan.
Tinggalkan Komen
Jalan kesufian dan kenabian
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 4:17 pm


Assalamualaikum wbt….
Saya pernah menceritakan bahawa perjalanan kerohanian saya adalah mengikut jalan kenabian dan bukan jalan kesufian. Jadi mari kita lihat perbezaan perjalanan kerohanian sisalik didalam meniti jalan menemui Tuhan Rabbul Jalil.
JALAN KENABIAN
Para sahabat Rasulullah s.a.w adalah kumpulan kaum Muslimin yang paling bertuah kerana Rasulullah s.a.w berada di tengah-tengah mereka. Mereka menerima pengajaran wahyu secara langsung daripada baginda s.a.w. Mereka adalah puak yang paling diberkati Allah s.w.t kerana Dia kurniakan kepada mereka cahaya (Nur) Nabi Muhammad s.a.w secara terus, tanpa dihijab oleh ruang, zaman atau masa. Apa yang mereka perolehi daripada Nur Nabi Muhammad s.a.w adalah yang paling benar dan asli pada tahap maksimum. Jika Nabi Muhammad s.a.w diibaratkan sebagai matahari, maka para sahabat menerima pancaran matahari ketika ia berdiri tegak tanpa segumpal awan pun melindunginya. Umat yang di belakang pula adalah umpama orang yang menerima pancaran cahaya matahari ketika ia telah condong ke barat dan ketika awan mendung sudah berarak dipermukaan langit.
Kaum Muslimin yang menerima tarekat secara langsung daripada Rasulullah s.a.w menetap di atas jalan kehambaan dan kesedaran. Wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w secara langsung membakar sifat-sifat keji para sahabat tanpa membakar identiti mereka. Mereka mengikuti tingkah-laku Rasulullah s.a.w dengan bersungguh-sungguh untuk memakai sifat-sifat benar, amanah, menyampaikan dan bijaksana. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan Rasulullah s.a.w kerana baginda s.a.w adalah model yang Allah s.w.t hantarkan untuk diteladani. Apabila jalan yang demikian diikuti maka para sahabat menjadi duta-duta kepada Rasulullah s.a.w, cermin yang membalikkan cahaya Nabi Muhammad s.a.w dan penyambung lidah Nabi Muhammad s.a.w. Cara yang demikian meneguhkan iman di atas landasan kehambaan. Tidak ada percubaan untuk membuang kehambaan dan menjadi Tuhan. Tidak ada pengalaman kerohanian yang memabukkan. Banyak daripada pengalaman yang ganjil-ganjil yang dialami oleh para sufi yang datang kemudian, tidak dialami oleh para sahabat Rasulullah s.a.w. Golongan yang menjalani tarekat yang diterima secara langsung daripada Rasulullah s.a.w tidak mengalami atau jarang terjadi pengalaman dan penyaksian terhadap tajalli-tajalli, warna dan cahaya. Pengalaman yang demikian tidak terjadi di peringkat awal sahabat menerima Islam dan tidak juga di peringkat akhir. Pengalaman yang demikian tidak berlaku kerana ‘matahari’ kenabian tidak ditutup oleh awan mendung keraguan dan syak wasangka yang biasa dikeluarkan oleh akal fikiran. Pengembara pada jalan kenabian iaitu tarekat para sahabat tidak terpukau dengan tajalli dan tidak tertarik dengan bayangan. Tajalli dan bayangan adalah fenomena yang timbul selama awan mendung menutupi cahaya matahari yang asli. Setelah awan mendung berlalu muncullah cahaya yang terang benderang, tanpa rupa, tanpa warna dan bayangan juga hilang.
Para sahabat yang mengikuti jalan kenabian sangat menyintai akhirat. Keluarga Yasir yang sedang hebat menderita diseksa oleh orang Banu Makhzum, menjadi tenang apabila menerima jaminan syurga daripada Rasulullah s.a.w. Syurga yang dijanjikan itu memberi semangat dan kekuatan kepada keluarga Yasir. Kecintaan mereka kepada akhirat lahir daripada kecintaan mereka kepada Allah s.w.t yang berjanji untuk memperlihatkan Diri-Nya di akhirat kelak. Mereka tidak meninggalkan akhirat atau pun dunia lantaran kecintaan mereka kepada Allah s.w.t. Kecintaan kepada Allah s.w.t yang disertai oleh kecintaan kepada akhirat dan dunia tidak menggoncangkan iman dan pegangan tauhid mereka.
Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin bukanlah memaksa kaum Muslimin menafikan ketuhanan Allah s.w.t, tetapi mereka mahu diadakan sekutu bagi Allah s.w.t. Kaum Muslimin yang hati mereka sudah dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah s.w.t tidak mahu mempersekutukan Allah s.w.t dengan sesuatu. Inilah prinsip menyintai Allah s.w.t yang berdasarkan iman, yang dibentuk melalui jalan kenabian. Cinta yang demikian diperkuatkan dengan kecintaan kepada akhirat dan syurga. Syurga diingini kerana syurga adalah tempat pertemuan sebenar hamba dengan Tuhan. Allah s.w.t menggalakkan hamba-Nya menyintai akhirat dan syurga di samping benar dalam menyintai-Nya dan Rasul-Nya. Cinta yang berdasarkan kepada iman itu juga tidak memisahkan seseorang daripada dunia.
Tujuan manusia diciptakan adalah supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara menjadi khalifah di bumi, di dalam dunia. Manusia sebagai khalifah atau wakil Tuhan berkewajipan memakmurkan kehidupan di dalam dunia ini, melaksanakan peraturan dan kehendak Allah s.w.t. Dunia adalah daerah kekhalifahan manusia. Dunia adalah kebun buat manusia bercucuk tanam. Dunia adalah tempat buat manusia bekerja sebagai hamba Tuhan. Dunia adalah amanah yang Tuhan pertanggungjawabkan kepada makhluk berbangsa manusia. Cinta kepada Allah s.w.t yang berdasarkan iman mendorong seseorang manusia menyempurnakan tugas dan kewajipannya di dalam dunia. Tugas yang sangat penting di dalam dunia adalah menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar dan semuanya itu hendaklah dibuat berlandaskan kepada tauhid.
Pada jalan kenabian yang diikuti oleh para sahabat, kesungguhan digembelingkan ke arah mematuhi peraturan syariat. Mereka meyakini syariat dengan sepenuh jiwa raga dan bersedia untuk mempertahankan syariat dengan segala kemampuan yang mereka ada. Rasulullah s.a.w menolak permintaan puak Taqif yang datang dari Taif, agar berhala mereka tidak dirobohkan dalam tempuh satu tahun dari masa mereka mula menerima Islam dan mereka juga meminta dikecualikan daripada melakukan sembahyang lima waktu. Agama Tauhid tidak boleh bertolak-ansur dengan berhala. Mengenai sembahyang pula baginda s.a.w bersabda yang maksudnya: “Tidak ada Islam tanpa sembahyang.” Tentera Islam meredah padang pasir, memikul senjata, berperang, membunuh dan dibunuh, semuanya dilakukan dengan membawa peraturan syariat, termasuklah sembahyang lima waktu. Selepas kewafatan Rasulullah s.a.w, Khalifah Abu Bakar as-Siddik memerangi puak Islam yang enggan mengeluarkan zakat. Syariat dipegang sewaktu Rasulullah s.a.w masih hidup dan juga selepas kewafatan baginda s.a.w. Kaum Muslimin berkewajipan menanggung syariat sehingga ke akhir hayat mereka. Tidak ada had atau makam di mana seseorang bebas daripada tuntutan syariat. Rasulullah s.a.w sendiri pun terikat dengan tuntutan syariat, malah kesungguhan baginda s.a.w bersyariat melebihi orang lain.
Orang yang memasuki jalan kenabian adalah hamba yang Allah s.w.t pimpin kepada-Nya. Jalan tersebut sudah dilalui oleh para anbia, siddiqin dan salihin. Pada jalan tersebut sesuatu adalah terang dan jelas, tiada kesamaran. Tuntutan pada jalan ini adalah syariat, tidak perlu melakukan latihan yang berat, merbahaya dan samar-samar. Pada jalan kenabian latihan bersuluk dan berkhalwat tidaklah sepenting menjaga tuntutan fardu di samping melaksanakan tanggungjawab dalam kehidupan harian. Amalan pada jalan kenabian tidak mengganggu pekerjaan harian, tidak perlu mengasingkan diri ke tempat yang tidak ada orang. Cara yang diajarkan oleh Sunah Rasulullah s.a.w boleh mengelakkan seseorang terbawa-bawa ke dalam zauk, berkelakuan ganjil, meratap dan menangis atau mengeluarkan perkataan yang menyalahi syariat. Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengambil tahu tentang tajalli Tuhan, Rahsia Tuhan, fana dalam Tuhan, baqa dengan Tuhan atau yang seumpamanya. Kasyaf, zauk, jazbah dan keramat jarang sekali ditemui pada orang yang melalui jalan kenabian. Jika ada pun perkara yang demikian berlaku, ia berlaku bukan disengajakan, tidak dibuat amalan khusus untuk memperolehi yang demikian. Mereka yang beramal menurut Sunah Rasulullah s.a.w mendapat kelazatan di dalam sembahyang dan membaca al-Quran bukan di dalam zauk. Mereka bertindak menguruskan kehidupan harian secara manusia biasa tanpa perlu bersandar kepada kekeramatan. Mereka menetap di dalam kesedaran, tidak dibawa ke alam fana. Mereka terus berada di atas landasan kehambaan, tidak memasuki suasana bersatu dengan Tuhan atau baqa dengan-Nya. Mereka menghabiskan masa dengan melakukan tuntutan syariat, bukan berbahas tentang af’al, asma’, sifat dan zat Tuhan. Mereka berpegang kuat kepada wahyu dan perkataan Rasulullah s.a.w, tidak mencari-cari apa yang dipanggil ilmu rahsia, ilmu isi atau yang seumpamanya.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak digesa berperang dengan jasad dengan melakukan latihan yang menyakitkan jasad. Pada jalan kenabian penekanan diberikan kepada soal kesederhanaan dan menjaga agar tidak melampaui batas. Dibenarkan mengadakan pembalasan tetapi sekadar kejahatan yang dilakukan orang, jangan melampau dalam pembalasan dan jika sanggup memaafkan adalah lebih baik. Dibenarkan tidur tetapi jika bangun bersembahyang tahajjud adalah lebih baik. Dibenarkan makan dan minum tetapi jika berpuasa adalah lebih baik. Cara yang demikian lebih memudahkan orang ramai mengikutinya. Orang khusus juga boleh mencapai matlamat melalui jalan ini.
Pengembara pada jalan kenabian membina kecintaan kepada Allah s.w.t berdasarkan bimbingan syariat. Cinta yang lahir melalui cara yang demikian berada di dalam batasan rasional, tidak terjadi kecintaan yang asyik mahsyuk sehingga lupa diri dan makhluk di sekeliling. Kasih yang rasional melahirkan rasa syukur tatkala menerima nikmat dari Allah s.w.t dan sabar di dalam menerima ujian. Cara yang demikian membuat kehambaan sentiasa menemani pengembara pada jalan kenabian. Rasa bergantung, berhajat dan berharap kepada Allah s.w.t tidak pernah lepas dari hati hamba itu. Kasih yang berdasar kepada iman menjadi lebih kuat dengan cara mendukung syariat, mematuhi Sunah Rasulullah s.a.w, dengan tulus ikhlas beramal sesuai dengan perintah al-Quran dan Sunah Rasulullah s.a.w dalam perkara zahir dan batin, juga tidak melakukan perkara yang munkar. Jika yang demikian dilakukan seseorang itu selamat daripada kekufuran dan seterusnya seseorang itu dibawa kepada suasana berserah diri kepada Allah s.w.t. Cara yang demikian menundukkan keinginan diri sendiri kepada ketentuan dan kehendak Allah s.w.t. Tunduk kepada ketentuan dan kehendak Allah s.w.t menambahkan kecintaan kepada-Nya yang didasarkan kepada iman. Kasih yang demikian menjadi lebih kuat apabila dilakukan kebaktian kepada agama-Nya, peraturan-Nya, Sunah Rasul-Nya, menolong makhluk-Nya, menghapuskan kezaliman dan kemunkaran serta menegakkan keadilan di atas muka bumi. Kasih kepada Allah s.w.t secara demikian melahirkan juga kasihkan makhluk Allah s.w.t dan orang yang berkenaan bekerja untuk membasmikan perkara-perkara yang tidak baik dari umat manusia seperti kemiskinan, penyakit, kesusahan dan lain-lain. Pada jalan kenabian kecintaan kepada Allah s.w.t berkait rapat dengan kecintaan kepada peraturan Allah s.w.t dan makhluk-Nya. Matlamatnya adalah melaksanakan kehendak Allah s.w.t sebaik mungkin.
Orang yang berjalan pada jalan kenabian tidak mengalami suasana fana, bersatu dengan Tuhan, baqa, tajalli atau menyaksikan satu wujud (wahdatul wujud) yang biasa ditemui oleh pengembara pada jalan kesufian. Pada jalan kenabian Allah s.w.t kurniakan yang lebih baik dan lebih benar daripada semua itu. Dikurniakan kepada pengembara pada jalan kenabian makna agama yang sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesamaran dan kekeliruan. Allah s.w.t jadikan mereka saksi bagi agama-Nya, menjadi puak yang menyatakan kebenaran agama-Nya dan kebenaran Rasul-Nya menyampaikan perintah-Nya. Allah s.w.t kurniakan kepada mereka makam yang mulia iaitu menjadi penyebar agama-Nya secara benar dan bersih daripada bidaah dan kesesatan. Orang yang berjalan pada jalan kenabian dikurniakan rasa ghirah (kecemburuan) beragama. Perasaan yang demikian membuat mereka bersedia berjuang melindungi agama dan mempertahankannya daripada gangguan musuh-musuh agama. Merekalah yang sebenar-benar dipilih dan dilantik sebagai khalifah Allah s.w.t pada bumi dan diberikan izin menggunakan cop mohor-Nya di dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Allah s.w.t akan membantu, menolong dan membela mereka menjalankan tugas mereka menyebarkan syariat, memakmurkan bumi, mengalahkan musuh-musuh Islam dan menyelamatkan umat Islam daripada penindasan bangsa-bangsa lain.
Pada jalan kenabian tidak ada fana dalam perbuatan Allah s.w.t, fana dalam nama Allah s.w.t, fana dalam sifat Allah s.w.t dan fana dalam zat Allah s.w.t. Bila tidak ada fana tidak ada juga baqa. Bila yang demikian tidak ada maka tidak ada pula mabuk. Kecintaan kepada Allah s.w.t berjalan di dalam kesedaran. Tidak terjadi keasyikan yang melahirkan ucapan yang pelik-pelik. Tidak ada tangisan dan rayuan untuk bersatu dengan Tuhan atau dukacita lantaran berpisah dengan Tuhan. Para sahabat yang diasuh sendiri oleh Rasulullah s.a.w sentiasa berada di dalam kesedaran sepenuhnya, bukan kefanaan. Mereka mengejar kecintaan kepada Allah s.w.t dan kehampiran dengan-Nya dengan cara mentaati Rasulullah s.a.w di dalam mentaati Allah s.w.t. Mereka bekerja memahami wahyu Tuhan dan mengamalkannya dalam kehidupan harian. Mereka tidak memasuki jalan suluk secara khusus kerana bagi mereka kehidupan inilah tempat bersuluk. Suluk mereka adalah takwa, iaitu berjalan di celah-celah duri kejahilan, kemusyrikan, kemunafikan, kemunkaran dan kefasikan. Mereka bersuluk secara menjaga diri agar tidak melakukan dosa dan maksiat terutamanya syirik kepada Allah s.w.t, Tuhan Yang Maha Esa.
Rasulullah s.a.w diutuskan ketika umat manusia mengalami kegelapan akidah dan keruntuhan akhlak. Baginda s.a.w berkewajipan menyelamatkan umat manusia. Baginda s.a.w bekerja keras bagi mengubati penyakit-penyakit yang dihidapi oleh bangsa manusia dalam segala segi termasuklah akidah, akhlak, sistem perekonomian, sistem pentadbiran masyarakat dan lain-lain. Agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w mencakupi segala aspek kehidupan umat manusia, bersesuaian dengan akal budi manusia, mengimbangi soal lahiriah dengan soal batiniah. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w memperbetulkan aspek lahiriah yang telah diputar-belitkan oleh kaum Yahudi dan aspek batiniah yang telah dikelirukan oleh kaum Nasrani. Tugas suci yang ditanggung oleh Rasulullah s.a.w itu ditanggung juga oleh kaum Muslimin yang menjadi pengikut baginda s.a.w. Tugas yang sama dipikul oleh kaum Muslimin yang datang kemudian dengan mendukung jalan kenabian.
Jalan yang dibentuk oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat adalah jalan singkat dalam mencapai matlamat iaitu keredaan Allah s.w.t. Jalan yang ada suluk adalah jalan jauh yang perlu dilalui oleh orang-orang tertentu kerana sesuatu sebab yang perlu, terutamanya pada zaman yang telah jauh daripada zaman Nabi Muhammad s.a.w. Ketika baginda s.a.w masih hidup bimbingan wahyu dan pengajaran secara langsung daripada baginda s.a.w lebih kuat dan lebih berkesan daripada cara berkhalwat sendirian jauh daripada Rasulullah s.a.w. Beriman dan beramal salih lebih dituntut daripada mengasingkan diri. Berjuang menyelamatkan manusia daripada neraka adalah juga termasuk dalam perkara amal salih. Di dalam melaksanakan tugas suci itu Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin perlu berperang menghapuskan faktor-faktor yang membentengi umat manusia daripada sampai kepada kebenaran. Banyak puak yang pada mulanya enggan menerima atau mendengar ajaran Islam, telah dengan rela memeluk Islam setelah mereka dikalahkan. Muslim zaman Rasulullah s.a.w sanggup mati demi menyelamatkan umat manusia daripada api neraka.
Nabi Muhammad s.a.w sebagai juru pandu yang mahir telah mengemudikan perjalanan kaum Muslimin di celah-celah kehidupan jahiliah. Kehidupan jahiliah dipenuhi oleh duri-duri keruntuhan akidah dan akhlak. Orang jahiliah menyembah berhala, mendewa-dewakan sesama manusia, meminum arak, berjudi, berzina, membunuh anak-anak perempuan, menyelesaikan permasalahan dengan cara berlaku kejam dan membunuh, menjadikan wanita sebagai alat memuaskan nafsu dan bermacam-macam perlakuan yang menyalahi moral dan etika kemanusiaan. Di dalam menangani masalah jahiliah itu Rasulullah s.a.w menekankan dua perkara pokok iaitu mengembalikan akidah manusia kepada tauhid dan mengembalikan akhlak manusia kepada nilai-nilai murni kemanusiaan (fitrah). Selama baginda s.a.w berdakwah di Makkah tumpuan baginda s.a.w adalah akidah dan akhlak. Penekanan kepada aspek akhlak semata-mata, iaitu nilai murni kemanusiaan semata-mata, tanpa tauhid, tidak akan memberi kesan yang mendalam kepada pembentukan keperibadian manusia. Revolusi akhlak semata-mata tanpa revolusi akidah mungkin mampu mengwujudkan manusia yang baik tetapi manusia yang demikian hanya bergerak pada soal-soal kebendaan dan keduniaan sahaja. Kejayaan dan kecemerlangan diukur melalui pencapaian pada perkara kehidupan keduniaan dan kebendaan semata-mata. Tanpa akidah manusia akan mengalami kekosongan jiwa dan kekosongan tersebut akan diisi oleh sesuatu seperti ketaasuban kepada keluarga, keturunan, kaum dan bangsa. Pengisian dengan anasir keduniaan itu akan menarik manusia kembali kepada kerosakan akhlak. Ramai manusia yang memulakan perjalanan mereka dengan baik sehingga memperolehi akhlak yang mulia. Setelah mencapai kejayaan dan kecemerlangan di dalam kehidupan lahiriah jiwanya yang kosong diresapi oleh berbagai-bagai anasir keduniaan dan kebendaan. Kesudahannya mereka jatuh ke dalam perlakuan yang mencemarkan nilai murni kemanusiaan. Ramai pemimpin yang telah berjuang dengan ikhlas bagi membebaskan negara mereka daripada penjajah. Setelah mencapai kemerdekaan dan menjadi pemimpin, mereka yang tiada pengisian akidah itu bertukar menjadi tamak kuasa dan menindas rakyat. Ramai juga golongan peniaga yang memulakan perniagaan mereka secara jujur sehingga orang ramai memberi sokongan padu kepada mereka. Saham mereka melambung naik. Setelah mencapai kejayaan dan kekayaan, jiwa mereka yang kosong diisikan dengan harta benda. Akibatnya lahirlah sifat menambun harta tanpa batasan sehingga harta orang ramai yang diamanahkan kepada mereka juga diselewengkan. Ramai manusia yang memulakan sesuatu kerjaya dengan menghormati nilai-nilai murni kemanusiaan, tetapi setelah kejayaan dicapai, nilai murni tersebut dibuang begitu sahaja. Orang yang seperti inilah yang selalu mendatangkan kesusahan kepada mana-mana badan atau persatuan yang mereka anggotai. Revolusi akhlak akan hancur jika ia tidak mengiringi revolusi akidah. Rasulullah s.a.w telah membina jalan yang menyelaraskan akidah dengan akhlak. Semakin kuat dan benar akidah kaum Muslimin semakin murni akhlak mereka. Kemurnian akhlak kaum Muslimin menjadi daya penarik kepada kaum lain. Orang yang belum Islam lebih mempelajari tentang Islam melalui akhlak kaum Muslimin. Pembentukan akhlak kaum Muslimin merupakan dakwah secara tidak langsung kepada kaum lain. Pada jalan kenabian kaum Muslimin berkecimpung di dalam masyarakat dan mereka melakukan dakwah sepanjang masa dengan mempraktikkan nilai-nilai murni kemanusiaan.
Orang yang meminati bidang kerohanian, tasauf dan tarekat biasanya tertarik kepada soal kewalian. Kewalian biasanya dihubungkan dengan jalan kesufian. Apabila memperkatakan tentang wali-wali Allah maka nama-nama mereka yang memasuki jalan kesufian sering ditonjolkan. Orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir Jilani, Ibrahim bin Adham, Hasan Basri, Junaid, Rabiatul Adawiah dan lain-lain orang sufi biasanya disenaraikan sebagai wali-wali Allah. Mengaitkan kewalian secara khusus dengan kesufian semata-mata telah menimbulkan banyak kekeliruan dan merugikan umat Islam sendiri. Apabila nama-nama sufi sering ditonjolkan sebagai wali Allah, timbullah anggapan bahawa hanya dengan memasuki jalan kesufian seseorang itu boleh mencapai makam kewalian. Kewalian pada jalan kenabian tidak ditonjolkan. Kefahaman tentang kewalian haruslah diperbetulkan. Haruslah diketahui bahawa orang yang menerima Islam secara langsung daripada Rasulullah s.a.w adalah wali Allah. Wali-wali Allah yang sezaman dengan Rasulullah s.a.w, mendengar pengajaran daripada baginda s.a.w sendiri, melihat wajah baginda s.a.w, mendengar tutur-kata baginda s.a.w, makan bersama-sama baginda s.a.w, berperang di samping baginda s.a.w, adalah wali-wali Allah peringkat paling tinggi. Tidak ada kewalian yang lebih tinggi daripada kewalian para sahabat Rasulullah s.a.w. Kewalian yang muncul selepas sahabat, termasuklah kewalian para sufi tidak melebihi kewalian para sahabat. Di dalam senarai nama-nama wali Allah peringkat tertinggi yang sezaman dengan Rasulullah s.a.w, mendahuluinya adalah orang-orang seperti Abu Bakar as-Siddik, Umar al-Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Talib, Zahid bin Harisah, Zubair bin Awam, Abdul Rahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, Al-Arqam bin Arqam, Yasir dan anak-anaknya Amar dan Abdullah, Samyah isteri Yasir, Bilal bin Rabah, Jaafar bin Abu Talib, Muaz bin Jabar, Abdullah bin Rawahah, Said bin Muaz, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi yang Jibrail a.s pernah muncul dalam rupanya, Saad bin Ubada dan ramai lagi yang tergolong di dalam senarai wali-wali Allah peringkat tertinggi yang tidak ada wali pada zaman kemudian mengatasi kedudukan mereka. Setelah selesai senarai nama para sahabat itu baharulah datang nama-nama wali-wali yang datang kemudian seperti Abdul Qadir Jilani dan lain-lain.
Memasukkan nama para sufi sahaja di dalam senarai wali-wali yang datang kemudian merupakan kekeliruan yang nyata dan ia adalah sikap yang tidak adil kepada kewalian itu sendiri. Orang ramai jangan lupa untuk melihat kewalian orang-orang yang menetap pada jalan kenabian seperti Imam Syafi’e, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nawawi, Imam Ghazali dan lain-lain. Harus juga diperhatikan ahli-ahli ilmu yang telah banyak menyumbang kepada umat manusia dalam bidang perubatan, kimia, falsafah, astronomi dan lain-lain. Apakah tidak layak orang yang seperti Ibnu Rusyd dan Jamaluddin al-Afghani dipanggil wali Allah?
Wali-wali di peringkat paling atas adalah sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w, termasuklah syuhada di Badar. Mereka telah mendapat pengiktirafan dan sanjungan daripada al-Quran dan disokong oleh Rasulullah s.a.w sendiri. Perkataan al-Quran dan Rasulullah s.a.w adalah muktamad. Wali-wali yang datang kemudian kedudukan mereka diperbesarkan oleh manusia sendiri, bukan perakuan secara langsung oleh Rasulullah s.a.w. Para sahabat adalah wali-wali yang lebih utama daripada wali yang datang kemudian sama ada dari jalan kesufian atau pun dari jalan kenabian. Kenyataan ini mesti dihunjam ke dalam fikiran umat Islam yang keliru dengan kedudukan kewalian. Ramai kaum Muslimin meninggalkan perkataan wali-wali peringkat tertinggi dan berpegang kepada perkataan wali yang lebih rendah atau orang yang tidak sahih kewaliannya.
Walaupun istilah wali tidak popular digunakan pada zaman Rasulullah s.a.w tetapi kewalian para sahabat tidak boleh dinafikan. Sebahagian daripada mereka telah disebut nama mereka dengan sahih oleh Rasulullah s.a.w sebagai ahli syurga. Baginda s.a.w juga memberi jaminan bahawa sesiapa yang mengikuti mana-mana sahabat baginda s.a.w sesungguhnya orang itu telah mengikuti yang benar. Wali-wali seperti Imam Syafi’e dan Imam Malik merupakan yang paling hampir jalan mereka dengan jalan para sahabat Rasulullah s.a.w. Oleh itu perkataan mereka lebih kuat dan lebih kukuh daripada perkataan wali-wali yang bukan berada pada jalan kenabian. Sangat tidak wajar kaum Muslimin membuang perkataan Imam Syafi’e kerana terpengaruh dengan perkataan zauk Abu Mansur al-Hallaj. Jalan yang ditempuh oleh Abu Mansur yang ada zauk, fana dan jazbah itu
JALAN KESUFIAN
Nabi Muhammad s.a.w adalah sebaik-baik penyampai, sebaik-baik pembimbing. Baginda s.a.w berkemampuan menyampaikan menurut tahap akal dan suasana kebatinan seseorang. Ahli falsafah mampu menerima pengajaran baginda s.a.w dan ahli kerohanian juga mampu menerimanya. Orang yang semata-mata bertaklid kepada baginda s.a.w juga mampu menerima pengajaran baginda s.a.w. Apa yang baginda s.a.w ajarkan akan terhunjam ke dalam akal fikiran dan hati nurani seseorang. Kalam yang keluar daripada mulut baginda s.a.w menanamkan pengertian pada akal dan penghayatan pada jiwa. Apabila baginda s.a.w mengajarkan ayat-ayat al-Quran, maksud yang sebenar dari ayat-ayat tersebut akan terpahat pada fikiran dan hati sahabat-sahabat baginda s.a.w. Walaupun baginda s.a.w menyampaikan melalui perkataan dan perbuatan tetapi baginda s.a.w juga mampu berkomunikasi secara langsung dengan akal dan hati nurani. Perbuatan dan perkataan baginda s.a.w bertindak sebagai kunci yang membuka tabir hijab yang menutupi akal dan hati. Mata akal dan mata hati menjadi celik apabila menerima sentuhan perkataan dan perbuatan baginda s.a.w. Para sahabat yang menerima pengajaran secara langsung daripada baginda s.a.w akan mengalami perubahan dengan mudah, sesuai dengan apa yang baginda s.a.w ajarkan. Sebaik sahaja baginda selesai membaca ayat yang mengharamkan arak maka pada ketika itu juga para sahabat baginda s.a.w membuang tabiat meminum arak. Sebaik sahaja baginda s.a.w selesai menyampaikan perintah sembahyang fardu lima waktu sehari semalam, maka pada ketika itu juga para sahabat baginda s.a.w masuk ke dalam arus sembahyang fardu lima waktu sehari semalam. Apabila baginda s.a.w menyampaikan kewajipan berpuasa pada bulan Ramdhan, maka pada bulan Ramdhan tahun itu juga para sahabat baginda s.a.w melakukan fardu puasa. Apabila baginda s.a.w melantik wakil-wakil untuk menyampaikan surat-surat kepada semua penguasa umat manusia di sekitar Semenanjung Arab, maka dengan rela mereka menjalankan tugas tersebut tanpa menghiraukan mereka akan dibunuh atau tidak dalam melaksanakan tugas tersebut. Apabila baginda s.a.w membacakan ayat tentang Allah s.w.t, maka pada ketika itu juga para sahabat mengenal Allah s.w.t. Sesungguhnya Nabi Muhammad s.a.w memancarkan nur yang menerangi akal dan hati manusia.
Kebolehan baginda s.a.w yang luar biasa menembusi akal dan hati manusia itu adalah kerana baginda s.a.w dilengkapkan dengan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah. Baginda s.a.w membawa dan menyampaikan yang benar, tidak menyembunyikan, tidak mengubah kebenaran dan disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. Apabila datang yang benar maka yang batal akan menyingkir. Cahaya kebenaran yang dipancarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w menghalau kegelapan yang menyelubungi akal dan hati. Kekuatan cahaya kebenaran yang mampu dipancarkan oleh seseorang pembimbing adalah bergantung kepada setakat mana kesempurnaan sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang dimilikinya. Sifat-sifat tersebut dimiliki oleh Nabi Muhammad s.a.w pada tahap kesempurnaan paling tinggi, paling kuat dan paling sempurna. Oleh yang demikian baginda s.a.w meninggalkan kesan yang paling maksima di dalam penyampaian baginda s.a.w. Baginda s.a.w mampu menyampaikan sesuatu perkara dengan menggunakan perkataan paling mudah dan paling ringkas tetapi memberi pengertian yang sangat luas dan kesan yang sangat mendalam kepada pendengarnya. Selama baginda s.a.w berdakwah 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, baginda s.a.w menyampaikan 6,666 ayat al-Quran dan kata-kata baginda s.a.w yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berjumlah 40,000, dengan kata-kata yang hanya sebanyak itu selama 23 tahun baginda s.a.w sudah menyampaikan dengan lengkap satu agama yang mencangkupi seluruh kehidupan dunia dan akhirat, yang mampu bertahan sehingga hari kiamat. Pekerjaan yang begitu besar dan bidang yang begitu luas baginda sempurnakan dengan tutur-kata yang sangat sedikit. Kemampuan Nabi Muhammad s.a.w itu tidak mungkin dapat dicabar oleh sesiapa pun, walau pada zaman mana sekalipun.
Nabi Muhammad s.a.w, mahaguru yang paling arif, pembimbing yang paling bijaksana, telah mengasuh satu kumpulan kaum Muslimin untuk memikul tugas berat membimbing umat manusia. Para pembimbing yang diasuh oleh Rasulullah s.a.w merupakan kumpulan pembimbing yang paling baik di kalangan yang melakukan tugas tersebut. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, matahari yang mengeluarkan cahaya petunjuk mula condong, awan mendung mula berarak, muncullah bayang menghijab perjalanan. Semakin lama Rasulullah s.a.w meninggalkan dunia ini semakin kurang kesan dan pengaruh yang mampu dihasilkan oleh seseorang pembimbing. Orang ramai telah mengalami kesulitan di dalam mendapatkan bimbingan menuju kepada Yang Haq. Sifat-sifat siddik, amanah, tabligh dan fatanah yang ada dengan orang-orang yang seharusnya menjadi pembimbing sudah sangat berkurangan. Ilmu yang mereka sampai tidak lagi berkemampuan membuka pintu akal dan pintu hati. Dalam keadaan yang demikian orang yang benar-benar mencari Yang Haq hilang keyakinan kepada mereka yang memikul tugas sebagai pembimbing di dalam masyarakat. Pencari kebenaran, setelah gagal memperolehi yang di cari melalui ahli ilmu, telah kembali kepada fitrahnya sendiri. Orang yang kembali kepada fitrahnya melihat satu-satunya jalan yang memberi harapan kepadanya adalah memulakan perjalanan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w ketika dunia diselubungi oleh kegelapan akidah dan akhlak dahulu. Orang ini memilih jalan bersendirian, berkhalwat di tempat yang tidak dikunjungi oleh manusia. Walaupun lari dari manusia tetapi orang fitrah itu membawa bersama-samanya pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah s.a.w iaitu al-Quran dan as-Sunah. Di dalam suasana bersendirian itulah dia melakukan amalan yang diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunah berhubung dengan bidang perhubungan hamba dengan Tuhan. Dalam suasana yang demikian, tidak ada perhubungan sesama manusia. Aspek ini ditinggalkan.
Jalan fitrah yang diterokai oleh kumpulan manusia yang mengasingkan diri itu menjadi asas kepada jalan yang kemudian hari dikenali sebagai jalan kesufian. Pengasas aliran sufi adalah manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan, kekeliruan dan ketidak-pastian. Mereka lari daripada kegelapan, kekeliruan dan ketidak-pastian itu sebagaimana Rasulullah s.a.w lari dari suasana jahiliah dahulu. Manusia fitrah yang tinggal sendirian itu melakukan amalan yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w iaitu bersembahyang, berpuasa, berzikir dan lain-lain. Amalan mereka tidak bersalahan dengan syariat, cuma bidang syariat yang ada hubungan dengan orang ramai tidak diamalkan. Amalan cara yang demikian kemudian harinya dipanggil suluk.
Manusia fitrah yang hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan kegelapan jahiliah akan merasai tekanan dan kegelisahan pada jiwanya. Jalan keluar bagi orang yang seperti ini adalah mengasingkan diri di tempat yang jauh daripada orang ramai dan menghabiskan masanya dengan beribadat kepada Allah s.w.t. Sebahagian daripada golongan yang memilih jalan mengasingkan diri akan terus menerus berada di dalam keadaan demikian sementara sebahagiannya pula kembali kepada masyarakat setelah rohani mereka mencapai kematangan. Orang yang memasuki jalan bersendirian terus menerus berada pada jalan kesufian dan yang kembali kepada masyarakat adalah orang sufi yang berpindah dari jalan kesufian kepada jalan kenabian. Orang yang kembali kepada jalan kenabian lebih sempurna perjalanannya dan dari golongan inilah muncul para pendakwah yang membimbing umat manusia kepada jalan Allah s.w.t. Kebanyakan sufi yang telah matang kembali kepada jalan kenabian. Abdul Qadir Jilani, Ibrahim Adham, Junaid, Hasan Basri dan ramai lagi merupakan sufi yang kembali kepada jalan kenabian setelah menyempurnakan jalan kesufian. Mereka adalah ahli sufi yang mengikuti jalan kenabian. Sufi yang kembali kepada jalan kenabian ini mempunyai keperibadian yang kuat dan percampuran dengan orang ramai tidak lagi memberi tekanan kepada jiwa mereka, malah mereka mampu membimbing orang lain untuk berjalan kepada Yang Haq. Bagi orang yang seperti ini pengembaraan pada jalan kesufian merupakan sebahagian daripada latihan memantapkan kerohaniannya bagi melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Golongan tersebut adalah orang yang menjadi pilihan Allah s.w.t dalam menegakkan syariat-Nya di atas muka bumi dan memimpin umat manusia kepada jalan lurus yang sebenarnya.
Peringkat kewalian pada jalan kesufian berbeza dengan peringkat kewalian pada jalan kenabian. Kewalian sufi masuk kepada suasana meninggalkan semua makhluk dan membenamkan ingatan secara terus menerus kepada Allah s.w.t. Kewalian sufi bergerak menghapuskan kehendak diri sendiri dan sifat-sifat kemanusiaan. Sebutan dan ingatan yang terus menerus kepada Allah s.w.t membawa sufi fana diri atau melupakan diri sendiri. Di dalam fana sufi memperolehi jazbah iaitu pengalaman yang berkaitan dengan suasana ketuhanan. Setelah melepasi peringkat fana sufi sampai kepada peringkat baqa atau kekal bersama-sama Allah s.w.t. Di dalam menuju baqa, pada peringkat fana yang paling tinggi sufi hilang kesedaran diri sepenuhnya. Wujudnya hilang dari pandangan dan perasaannya. Hanya Wujud Allah s.w.t sahaja yang menguasainya. Pada peringkat tersebut sufi mengalami apa yang diistilahkan sebagai wahdatul wujud, di mana wujud hamba dengan Wujud Tuhan tidak lagi berbeza pada alam perasaan sufi. Suasana demikian diperolehi akibat didorong oleh rasa kecintaan kepada Allah s.w.t secara asyik mahsyuk yang bersangatan dan pada masa yang sama kesedaran terhadap diri sendiri hilang. Pengalaman wahdatul wujud menimbulkan apa yang diistilahkan sebagai mabuk. Sufi hanya melihat kepada Wujud Tuhan, tidak lagi kepada wujud dirinya dan sekalian wujud yang selain Tuhan. Bila kewujudan diri sendiri hilang dari alam perasaan sufi sering mengucapkan perkataan yang diistilahkan sebagai latah seperti pengakuan bahawa dirinya adalah Tuhan atau Tuhan yang menjadi bakat dirinya.
Kebanyakan sufi sangat mementingkan pengalaman bersatu dengan Tuhan. Mereka menjalani latihan yang berat-berat bagi menghilangkan kesedaran terhadap diri sendiri, iaitu mencapai fana dan dikuasai oleh kecintaan kepada Allah s.w.t yang mengasyikkan. Bagi memperolehi yang demikian sufi perlu menghapuskan semua keinginannya, sifatnya dan identiti dirinya secara menyeluruh. Pekerjaan yang demikian sangat berat, perlu dilakukan latihan menindas jasad. Latihan yang merbahaya dan luar biasa terkenal di kalangan para sufi di dalam proses meleburkan kedirian mereka. Latihan yang demikian membawa sufi melupakan dunia dan akhirat.
Orang sufi percaya rohnya adalah Roh yang dari Allah s.w.t, yang suci bersih. Roh yang suci itu dipenjarakan oleh jasad. Sufi berasa berkewajipan membebaskan rohnya daripada penjara jasad dan mencapai tujuan iaitu bersatu dengan Tuhan. Oleh yang demikian sufi mengistiharkan perang terhadap jasad dengan cara menindas keperluan jasad seperti makan, minum, tidur, tutur-kata, pergaulan dan sebagainya. Selagi rohaninya tidak bebas dari pengaruh jasad sufi tidak akan berasa aman. Sikap penindasan terhadap jasad ini menimbulkan kegelisahan, kehangatan dan kemarahan di dalam roh haiwaninya yang menghubungkan rohnya dengan jasad. Tindak-balas daripada roh haiwani itu sering menimbulkan sikap kasar dan agressif pada orang sufi, terutamanya bagi mereka yang berada pada peringkat permulaan melatihkan diri. Setelah dapat menguasai peringkat roh haiwani sufi akan beransur-ansur menjadi tenang dan kesedaran pancainderanya mengecil sehinggalah hilang terus. Dia mencapai kehampiran dengan Tuhan dan seterusnya memasuki suasana bersatu dengan-Nya. Baharulah sufi merasakan kerihatan daripada jihadnya terhadap jasad.
Jalan yang ditempuh itu menyebabkan sufi gemar kepada yang indah-indah, mendengar suara yang merdu, lagu-lagu kasih, puisi dan cerita-cerita percintaan. Sebahagian daripada para sufi terbawa-bawa kepada berzikir secara menyanyi dan menari sambil diiringi oleh muzik. Keadaan yang demikian menambahkan rasa kecintaan mereka kepada Allah s.w.t dan mengubati kerinduan mereka kepada-Nya. Kerinduan kepada Tuhan sangat menekan jiwa dan menimbulkan kegelisahan yang amat sangat. Aktiviti yang mengasyikkan dapat meredakan tekanan dan kegelisahan tersebut. Perjalanan yang demikian menyebabkan timbul sikap kasar dan tidak terkawal di kalangan sebahagian sufi, selama kecintaan kepada Tuhan belum mereka kuasai dan kerinduan kepada-Nya belum terubat. Kerinduan dan keasyikan menyebabkan sufi lupa bukan sahaja kepada diri dan makhluk, malah sering juga terjadi peraturan syariat dan etika moral tidak diambil berat oleh sebahagian mereka. Sebahagian sufi masih melakukan peraturan syariat tetapi semata-mata kerana menghormati syariat Tuhan bukan kerana menghayati peraturan tersebut.
Para sufi yang bersungguh-sungguh dengan latihan kerohanian mereka, setelah memperolehi keasyikan, akan masuk ke dalam suasana kebatinan di mana mereka menyaksikan rupa, bentuk, cahaya dan warna. Pengalaman yang demikian banyak berlaku pada peringkat awal perjalanan sufi. Penyaksian yang demikian sangat menggembirakan mereka, menambahkan keyakinan dan semangat untuk maju terus. Oleh kerana penyaksian tersebut terjadi di dalam suasana kebatinan yang ghaib, sufi mudah menghubungkan yang disaksikan itu dengan Allah s.w.t. Timbullah konsep ketuhanan yang tidak jelas dan mengelirukan.
Penghujung jalan para asyikin adalah bersatu dengan Tuhan. Sufi mengalami kefanaan, dirinya hilang dia berkamil dengan Tuhan. Dia dikuasai oleh suasana ketuhanan. Pada peringkat ini sering terjadi ucapan latah seperti: “Ana al-Haq!” Ucapan latah yang meletakkan ketuhanan pada diri itu berlaku kepada sufi ketika kesedaran terhadap diri sendiri hilang lenyap. Suasana yang demikian diistilahkan sebagai mabuk. Dalam suasana yang demikian hubungan hati orang sufi dengan Tuhan sangat erat. Dia telah melepaskan segala-galanya demi Tuhannya. Dia telah membuang makhluk dan dirinya demi kecintaannya kepada Tuhan. Gelombang kefanaan yang melanda hati sufi itu mengubah suasana kebatinannya menyebabkan sering muncul keajaiban daripada dirinya, doanya cepat makbul, perkataannya menjadi kenyataan, dia boleh melakukan perkara yang luar biasa seperti berjalan di atas air atau masuk ke dalam api. Hasilnya bertambah teguhlah keyakinannya terhadap apa yang dipegangnya.
Perkara luar biasa yang muncul daripada sufi yang di dalam zauk itu menyebabkan orang ramai menjadi percaya kepada apa yang sufi itu iktikadkan. Sufi yang di dalam kefanaan diri menyaksikan satu wujud lalu memperkatakan mengenainya. Muncullah fahaman wahdatul wujud. Orang ramai yang melihat keajaiban pada sufi itu dengan mudah menerima fahaman wahdatul wujud yang dipegang oleh sufi itu. Sufi membina fahaman wahdatul wujud melalui pengalaman kerohaniannya, melalui penyaksian mata hatinya. Dia mengalami sendiri suasana semua wujud hilang dan hanya satu wujud sahaja yang menyata. Orang ramai pula berpegang kepada fahaman wahdatul wujud secara ikut-ikutan, tanpa mengalaminya dan tanpa benar-benar mengerti mengenainya. Pegangan sufi dibentuk melalui pengalaman rasa sementara orang lain pula melalui khayalan dan andaian. Sufi yang berkata atau melakukan sesuatu yang menyalahi syariat, bertentangan dengan perkataan al-Quran dan perkataan Rasulullah s.a.w ketika dia dikuasai oleh hal atau mabuk, boleh dimaafkan kerana dia berbuat demikian tanpa kesedaran. Orang lain yang di dalam kesedaran biasa yang mengikuti orang sufi secara meniru-niru perlu diberi penjelasan bahawa perbuatan mereka adalah sesat dan kufur.
Pengalaman wahdatul wujud adalah umpama bayangan yang muncul akibat awan mendung menutupi sinar matahari. Setelah awan berlalu bayangan pun hilang. Orang sufi yang berjalan terus akan melepasi peringkat bayangan tersebut. Fahaman wahdatul wujud ditinggalkan di belakang dan dia masuk kepada jalan kenabian, berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunah. Kebenaran yang sejati terletak dalam al-Quran dan as-Sunah bukan pada zauk, jazbah dan mabuk. Oleh yang demikian orang sufi yang belum melepasi suasana mabuk dilarang keras bercampur gaul dengan orang ramai dan menyampaikan fahaman yang terbentuk ketika mabuk.
Sekian. Wassalam.
Komentar (2)
Diantara nasab keturunan al Idrusi
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 3:51 pm


Nasab keturunan Raden Sharipah isteri Tok Syeh yang sangat disayanginya ini mungkin boleh dijadikan panduan kepada keturunan aldrusi yang tidak mengetahui salasilah keturunannya sehingga kepada Rasulullah saw.
1. Nabi Mohamad saw
2. Saidatina Fatimah azzahra ra + Al Imam Ali kaw
3. Al Imam Syahid Husin ra
4. Al Imam Ali Zainal Abidin ra
5. Al Imam Saiyid Muhamad Al Bashir ra
6. Al Imam Saiyid Jaafar As Siddiq ra
7. Saiyid Ali ra
8. Saiyid Muhamad Nasir ra
9. Saiyid Muhamad Isa Syakaran ra
10.Al Imam Saiyid Ahmad Al Muhanjir ra
11.Saiyid Ubaidillah/Abdullah ra
12.Saiyid Alwi ra
13.Saiyid Muhamad ra
14.Saiyid Alwi ra
15 Saiyid Ali Kholal Ghosam ra
16.Saiyid Muhamad Shahid Mirbat ra
17.Saiyid Muhamad ra
18.Saiyid Ali ra
19.Al Imam Faqih Muqaddam ra
20.Syeikh Yusof Mukromi ra
21.Syeikh Abdul Wahab ra
22.Syeikh Muhamad Akbar Al Ansari ra
23.Syieikh Abdul Muhyi Al Khairi ra
24.Syeikh Muhamad Al Asiy ra
25.Syeikh Abdul Khaliq/ Khaliqul Al Idrus ra
26 Raden Muhamad Yunus Al Idrus ra
27.As Syahid Raden Abdul Qadir/Pati Unus ra
28.Raden Abdullah/Raden Aria Putra ra
29.Raden Aria Darmawangsa ra
30.Raden Aria Nasharudin/ Panglima Jambi ra
31.Raden Aria Mohyiddin/ Tok Udin ra
32.Raden Muhamad Bula ra
33.Raden Muhamad Lohor ra
34.Raden Muhamad Udin ra
35.Raden Kalong ra
36.Raden Baba ra
36.Raden Osman ra
37.RADEN SYARIPAH NORMALA….Isteri ku.
Ini lah Nasab isteri saya (Tok Syeikh), walau pun begitu kami adalah bersaudara, kerana kami SEPUPU.Nasab saya telah saya tuliskan terdahulu.Saya dari Nasab Saidina Hasan ra melalui Saiyid Muhyidin Abdul Qodir Al Jailani.Sungguh pun bagitu NASAB AL HUSIN DAN AL HASAN, banyak yang bercampor kerana KETURUNAN KAMI, banyak yang kawin KERABAT.Insyaalah pada kesempatan yang lain saya akan tulis kan NASAB WALI SONGO pula kerana dalam NASAB SAYA dan ISTERI SAYA, memang bernasab sama dengan WALI SONGO khusus nya Sunan Ampel,Sunan Giri,Maulana Ishaq,Sunan Kalijaga,Sunan Ngessik,Raden Patah dan lain lain lagi.Mereka itu adalah NENEK MOYANG KAMI KERANA BANYAK DARI MEREKA BERKAHWIN KERABAT…wasallam.
Sumber: komentar Tok Syeikh di > http://karimon.wordpress.com/
Tinggalkan Komen
Musyahadah
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 11:21 am


Keterangan oleh Tok Pulau Manis
Dan adalah segala orang yang Arif itu daripada orang yang ahli Maqam ini atas dua bahagi. Setengah daripada mereka itu yang berjalan kepadaNya dan setengah daripada mereka itu yang sampai kepadaNya; dan yang kedua itu tiada memandang baginya wujud dan tiada amal seperti yang telah terdahulu sebutnya kerana bahawasanya Allah Taala…….
Keterangan Suluk
Sebagai mukkadimah untuk mendatangkan Kalam Hikmah Sheikh Ibnu Athoillah yang seterusnya, Tok Pulau Manis memulakannya dengan memperihalkan sebahagian daripada hal-ahwal orang-orang Arif. Menurut beliau, orang-orang Arif ialah mereka yang berdiri/menetap di atas Maqam “memandang anugerah dan kurnia Allah dalam setiap nikmat.” Dengan kata lain mereka ini adalah “Ahli Musyahadah” yang sentiasa memandang wujudnya Allah dalam tiap-tiap sesuatu.
Namun demikian, golongan Arif ini masih boleh dibahagikan kepada dua golongan utama iaitu;
Pertama; daripada mereka itu yang berjalan kepadaNya iaitu yang disebut sebagai Salik; dan
Kedua; daripada mereka itu yang sampai kepadaNya yakni yang disebut juga sebagai orang-orang yang Wasil ilaLlah.
Adapun golongan Wasil adalah terdiri daripada mereka yang tiada memandang baginya wujud dan tiada amal yakni yang tenggelam dalam lautan Musyhadah dengan Allah Taala sehingga tidak dipandang amalnya dan wujud dirinya sendiri sebagaimana yang telah dibincangkan dalam pengajian-pengajian sebelum ini terutama yang berkaitan dengan Warid Makrifat Rabbaniyyah.
Ini adalah kerana dengan limpah kurniaNya, Allah Taala dengan RahmatNya dari awal-awal lagi telah menjauhkan hamba-hamba pilihanNya daripada penghalang atau perintang yang besar sebagaimana yang terdapat dalam maksud Kalam Hikmah yang berikutnya;
Kalam Hikmah Sheikh Ibnu Athoillah As-Kanddari r.a
Keterangan selanjutnya oleh Tok Pulau Manis
Telah diputuskan Allah Subhanahuwa Taala akan segala orang yang berjalan baginya dan segala orang yang sampai kepadaNya daripada melihat segala amal mereka itu; dan dipandang segala hal mereka itu. Bahawasanya mereka itu dengan Dia; tiada dengan diri mereka itu melainkan bahawa segala maqam mereka itu berkurang-lebih atas sekadar hal mereka itu yang telah dikurniakan Haq Taala akan mereka itu.
Keterangan Suluk
Guru suluk lebih suka menggunakan istilah “menghaibkan” bagi menggantikan istilah “diputuskan” di atas. Dengan itu bolehlah kita maksudkan keterangan di atas ialah sebagaimana berikut.
Allah Taala telah menghaibkan atau menghapuskan pandangan
orang-orang Salik (segala orang yang berjalan baginya)
dan orang-orang Wasil (orang yang sampai kepadaNya)
daripada menilik-nilik dan melihat amal ibadat mereka serta hal-ahwal mereka. Mengikut kebiasaannya; orang yang banyak melakukan amal ibadat seperti, sembahyang, puasa, membaca Al-Qur’an, berwirid, berzikir dan sebagainya akan sentiasa menghitung dan mengira-ngira adakah amalan mereka semakin bertambah atau tidak? apakah sudah mencapai kesempurnaannya? berapa lama sudah dikerjakan amalan ini? dan sebagainya lagi..
Antara dalil orang yang menilik dan memandang amal ini ialah mereka akan merasa lega apabila selesai mengerjakannya; sebaliknya akan merasa susah hati dan bimbang jika ianya belum dikerjakan lagi.
Jika telah dikerjakan dengan tidak sempurna, maka mereka tidak merasa puas hati dan kesal dengan apa yang dikerjakan itu. Begitu juga bila sesuatu waktu mereka tertinggal mengerjakan amal ibadat itu, mereka akan merasa jauh dengan Allah.
Seolah-olah amal-ibadat itulah yang boleh menghasilkan sesuatu atau membawa mereka hampir dengan Allah.
Hatinya akan sentiasa menyesali aib-aib dan kekurangannya.
Demikian juga dengan seorang hamba yang dikurniakan keistimewaan tertentu sehingga layak untuknya menduduki sesuatu “hal” seperti;
ramai orang yang kasih dan bertumpu kepadanya;
diberikan keberkatan dalam wirid-wiridnya hingga boleh dijadikan air tawarnya mujarab untuk pelbagai penyakit;
terbuka sesuatu yang ghaib dan rahsia.
dikurniakan berbagai keramat yang mencarik adat
merasai manis dan lazat dalam ibadat dan munajat;
dan berbagai-bagai “hal” yang lain lagi.
Hamba yang ada keistimewaan sebegini, biasanya akan tersangkut hati untuk melihat dan memandang kebolehan dan kelebihan yang manarik dan jarang-jarang dijumpai itu. Ada yang sampai jadi Tok Bomoh atau dukun yang tersohor dan ada yang jadi sibuk(glamour) dengan melayan tumpuan dan perhatian orang ramai kepadanya.
Inilah sebahagian daripada contoh-contoh hamba yang tidak diputuskan oleh Allah Taala untuk menilik dan memandang amal ibadat dan hal-ahwalnya. Perjalanan mereka akan terhalang dan tersekat dengan tilikan dan pandangan yang terseleweng(tersasar) itu. Itulah sahaja bahagian untuk mereka.
Berbeza dengan orang yang telah diputuskan oleh Allah Taala daripada melihat dan memandang amal ibadat dan hal-ahwalnya. Bahawasanya mereka itu dengan Dia(Allah) dengan maksud hamba yang memiliki Musyahadah itu akan sentiasa menilik dan memandang kepada Allah Taala sehingga ghaib atau hilang wujud diri mereka sentiasa. Yang dilihat dalam pandangannya ialah perbuatan Allah semata, atau nyatanya Sifat-sifat Kesempurnaan Allah atau Mulia dan Maha Sucinya Zat Allah Yang Maha Agung. Hilang atau ghaib diri mereka sendiri sehingga tidak dibeza-bezakan antara “Yang Dilihat” dan “Yang Melihat”.
Sesungguhnya pandangan yang fana sebegini bukanlah dengan diri mereka itu yang bermaksud bukanlah dengan upaya dan kekuatan mereka; jauh sekali amal ibadatnya; bahkan diri mereka sendiri telah hilang dalam pandangannya.
Ada yang fana dalam Afa’al(perbuatan) Allah,
ada yang fana dalam Asma’(Nama) Allah
ada yang fana dalam Sifat Allah;
dan ada yang fana dengan Zat Allah.
Berbeza-beza jenis fana seperti di atas adalah merujuk kepada tidak sama hal orang yang fana(ghaib dalam musyahadah dengan Allah) sebagaimana yang diisyaratkan dalam keterangan Tok Pulaua Manis bahawa segala maqam mereka itu berkurang-lebih atas sekadar hal mereka itu yang telah dikurniakan Haq Taala akan mereka itu.
Penjelasan selanjutnya akan memperihalkan pula maksud berlebih-kurang dan tidak samanya kadar dan maqam yang dikurniakan oleh Allah Taala terhadap seseorang yang telah dighaibkan daripada memandang amal ibadat dan hal-ahwal mereka.
Kalam Hikmah Sheikh Ibnu Athoillah As-Kanddari r.a yang selanjutnya;

Terjemahan dan Keterangan selanjutnya oleh Tok Pulau Manis
Adapun segala orang yang berjalan kepadaNya(Allah) itu, maka dari kerana bahawasanya mereka itu tiada tahqiq mereka itu akan siddiq mereka itu serta Allah dalamnya. Maka putuslah mereka itu kepadaNya dengan melihat taksir diri mereka itu. Maka adalah memutuskan mereka itu pada penglihatannya(taksir) daripada segala “halnya” dengan sebab berhadap mereka itu atasnya(hal)
Keterangan Suluk
Isyarat kalam hikmah dan keterangan Tok Pulau Manis di atas dimaksudkan kepada orang-orang Salik yang berjalan hatinya menuju kehampiran dengan Allah Taala. Bila berjalan tentulah akan ada sesuatu yang dijumpai, yang menjadi penghalang, yang merintangi; menjadi cubaan untuk menguji keteguhan cita-cita dan maksud hatinya. Umpama seorang pengembara padang pasir yang terpaksa menempuh berbagai-bagai kesulitan dan pada satu ketika tertarik pandangannya pada satu kebun yang ditemuinya, begitu jualah si Salik dalam perjalanannya menuju Allah. Mereka mungkin sahaja akan berhadapan dengan berbagai-bagai cubaan yang akan cuba mengalihkan pandangan cita-cita dan maksud hati Salik.
Adapun hal orang-orang Salik pada permulaan perjalanannya tiada tahqiq mereka itu akan siddiq mereka itu serta Allah dalamnya . Tidak teguh dan mantap pandangan makrifatnya yang sebenar. Mudah beralih dan cenderung kepada sesuatu tarikan MasyiwalLah. Masih bercampur baur siddiq mereka antara yang batil dengan yang haq.
Jika terjerumus dalam maksiat (zhohir atau batin) mereka akan menyesali dan menyalahkan dirinya yang berbuat; Ini adalah kerana tiada tahqiq mereka itu akan siddiq mereka itu serta Allah dalamnya
Jika dibukakan sesuatu ghaib atau rahsia, maka akan ditilik amal dan wiridnya yang mendatangkan Warid; Ini adalah kerana tiada tahqiq mereka itu akan siddiq mereka itu serta Allah dalamnya
Jika berhadap ramai manusia kepadanya, maka dipandang hasilnya dengan kerana kesempurnaan amalan yang ada padanya. Ini adalah kerana tiada tahqiq mereka itu akan siddiq mereka itu serta Allah dalamnya
Mereka sering saja mudah condong dan senderung kepada MasyiwalLah(sesuatu selain daripada Allah). tetapi mereka selalu cepat sedar. Mereka akan lihat betapa aib dan betapa cuainya mereka. Betapa bersalah dan berdosanya mereka dengan Allah. Bila begini jadinya, Maka putuslah mereka itu kepadaNya(Allah) dengan melihat taksir diri mereka itu. Dengan kerana ini, maka putuslah Musyahadahnya dengan Allah dengan sebab melihat kepada aib diri dan taksir.
Terputusnya Musyahadahnya dengan Allah adalah kerana berhadap hati mereka itu atas halnya. Bukan kerana dosa mereka, bukan kerana keramat, bukan kerana keberkatan amalan. Tetapi dengan sebab berhadap mereka itu atasnya(hal) yakni memandang dosa-dosa mereka atau menilik-nilik pada keistmewaan karamat atau dengan menoleh pandangannya kepada amal ibadat yang dikerjakan secara berterusan.
Inilah hal-ahwal Maqam orang Salik yang dalam permulaan perjalanannya. Tidak teguh dan tidak tetap(tahqiq) dengan sesuatu hal. Sesekali ingat, sesekali cuai, sesekali cenderung pada sesuatu, sesekali tetap dan mantap. Semua hal-ahwal ini adalah bertujuan untuk memperkayakan pengalamannya dalam mencari yang sebenar-benar hakikat. Pada satu pihak nampak seperti terlalu banyak salah dan dosa yang dilakukan, tetapi pada sudut yang lain pula; ianya seakan dipuji oleh Allah Taala. Kita boleh lihat bagaimana keterangan selanjutkan menjelaskan lagi keperihalan ini.
Keterangan selanjutnya oleh Tok Pulau Manis
Dan kata Sheikh Nahrujuuri r.a.;
Setengah daripada alamat orang yang dikurniai Allah akan dia segala halnya itu bahawa
memandang ia akan taksir dalam ikhlasnya dan
akan lupa dalam segala zikirnya dan
akan kurang dalam siddiqnya dan
akan segannya dalam mujahadah dan
sedikit memeliharakan dalam fakirnya. Maka adalah segala halnya kepadaNya tiada kerana lainnya dan bertambah-tambah ia akan fakir kepada Allah dalam fakirnya dalam perjalanannya hingga fanalah ia daripada tiap-tiap barang yang lain. ( Intaha: Sheikh Nahjuri r.a.)
Keterangan Suluk
Sebagai ingin memperkuatkan dan memperjelaskan lagi perihal sebab-sebab dan hikmah diputuskan pandangan Musyhadah seorang Salik kepada TuhanNya; diperturunkan kata seorang ulama Sufi Sheikh Nahrujuri r.a. Beliau menegaskan antara tanda-tanda Salik yang dikurniakan menduduki maqam-maqam “hal” dalam menuju kehampiran dengan Allah ialah bahawa
memandang ia akan taksir dalam ikhlasnya (walaupun sentiasa mengikhlaskan amal-ibadat kepada Allah Taala tetapi masih merasa diri selalu cuai dan mencampuradukkan ikhlasnya dengan syirik-syirik yang khofi)
dan akan lupa dalam segala zikirnya (yakni walaupun sering berzikir tetapi masih menganggap banyak lupanya pada Allah Taala) dan akan kurang dalam siddiqnya (iaitu walaupun telah benar dan ikhlas amal ibadat yang dikerjakan, namun masih merasa kurang sempurna dalam siddiqnya) dan akan segannya dalam mujahadah (yakni sungguhpun telah bersungguh mereka bermujahadah melawan nafsu syahwatnya, tapi selalu menganggap dirinya masih segan dan malas dalam bermujahadah) dan sedikit memeliharakan dalam fakirnya (walaupun sudah kuat rasa berhajatnya kepada Allah Taala, tetapi masih memandang terlalu sedikit kefakirannya itu dengan apa yang dikehendaki Allah sebenarnya)
Maka semuanya itu adalah hal-ahwal mereka yang ingin mencapai kehampiran dengan Allah Taala. Bukan kerana lain-lain lagi. Semata-mata kerana ingin sampai kepada Allah, sehinggakan mereka amat berhati-hati sekali. Dengan sentiasa merasai dan memandang taksir, lupa, kurang, segannya, sedikit, lemah, dhoif, banyak aib dan cela, maka bertambah-tambahlah rasa berhajatnya kepada Allah. Merasai diri benar-benar fakir hingga terasa lemah dan tidak berupaya untuk menjauhkan sesuatu dan tidak berkuasa untuk menghasilkan sesuatu melainkan dengan mengharapkan limpah kurnia dari Allah Taala Yang Maha Pemberi. Rasa kefakiran dan berhajatnya sangat-sangat kepada Allah sentiasa membayangi setiap langkah perjalanannya sehinggalah mereka fana/ghaib/hapus daripada memandang kepada sesuautu yang lain. Kebutuhannya pada Allah melenyapkan perhatian dan pandangannya kepada yang lain dengan semata-mata berhadap kepada Allah Yang Maha Meliputi di atas segala sesuatu. Beruntunglah mereka yang dibimbing dan ditunjukki dengan liku-liku jalan yang penuh dengan pengalaman dan pengajaran yang penuh dengan hikmat dan keindahan ini.

Kalam Hikmah Sheikh Ibnu Athoillah As-Kanddari r.a yang selanjutnya;

Keterangan Suluk
Adapun orang yang telah sampai, maka kerana mereka telah sibuk kepada melihat kepada Allah. Terjemahan dan Keterangan oleh Tok Pulau Manis
Dan adapun segala orang yang sampai kepadaNya(Allah) itu, maka dari kerana bahawasanya Allah Taala yang menghaibkan Ia(Allah) akan mereka itu daripada segala “halnya” dengan sebab memandang Dia(Allah) dalam Hadirat hampirNya.
Keterangan Suluk
Setelah diterangkan perihal orang-orang Salik yang sering rebah dan bangun dalam perjalanannya menuju kehampiran dengan Allah, maka berikutnya dibahaskan perihal mengenai orang-orang yang Wasil. Menurut keterangan guru suluk, yang dimaksudkan dengan orang-orang yang telah sampai atau orang-orang Wasil ialah mereka yang telah sampai ke Hadratul Qudsi dimana dengan sampai di Hadirat HampirNya ini, maka bererti sampailah orang-orang Wasil ini ke;
tempat Mufatahah dan Muwajahah dan Mujalasah dan Muhadasah dan Musyahadah dan Muthola’ah. Pengertian dan maksud mengenai istilah-istilah di atas, boleh diketahui sebagaimana yang tersebut dalam Kitab Manhalus Shofi Fi Bayaanni Ahli Ssufi ialah sebagaimana berikut; Maka adalah pada Hadrat (Qudsiah) itu tempat tetap hati mereka tu dan kepadanya tempat kembali dan padanya tempat kediaman.
Adapun yang dimaksudkan dengan Hadratul Qudsi ialah tempat berkehendakkan menyucikan semata-mata.
Dan yang dimaksudkan dengan Hamparan Unsi ialah tempat berjinak-jinak dengan Tuhan Nya.
Dan yang dimaksudkan dengan Mufatahah ialah tempat terbuka rahsia Ilahiyyah.
Dan yang dimaksudkan dengan Muwajahah ialah berhadap semata-mata dengan sebab terangkat hijab Zulmaniyyah (kegelapan) dan Nuralniyyah(cahaya)
Dan yang dimaksudkan dengan Mujalasah ialah bersekedudukan dengan sebab disucikan ia daripada dua syirik dan daripada yang lain daripada Allah.
Dan yang dimaksudkan dengan Muhadasah ialah munajatlah “Sir”nya dengan TuhanNya.
Dan yang dimaksudkan dengan Musyahadah ialah memandang akan TuhanNya pada segala zarrah daripada zarrah yang maujud di atas yang berpatutan dengan dia dan dimusyhadahkan “Dan Allah Taala Meliputi bagi tiap-tiap sesuatu”.

Dan yang dimaksudkan dengan Muthola’ah ialah menilik akanTuhanNya dengan TuhanNya pada tiap-tiap kelakuan. Inilah hal-ahwal yang membayangi orang-orang Wasil di samping penuh dikelilingi oleh pelbagai keramat yang mencarik adat kebiasaan. Sungguhpun begitu, mereka tidak pernah menilik dan memandang kepada hal-ahwal dan keistimewaan yang ada pada mereka, jauh sekali cenderung hatinya untuk mewar-warkannya kepada orang lain. Ini adalah kerana bahawasanya Allah Taala yang menghaibkan Ia(Allah) akan mereka itu daripada segala “halnya” dengan sebab memandang[hamba] akan Dia(Allah) dalam Hadirat hampirNya. Keterangan selanjutnya oleh Tok Pulau Manis. Maka tiada melihat mereka itu akan amal kerana bahawasanya barangsiapa memandang ia akan Dia(Allah), nescaya muhal(mustahil) bahawa melihat ia sertaNya(Allah) lainnya.
Keterangan Suluk
Disebabkan kerana Allah Taala telah menghaibkan atau melenyapkan pandangan mata hati dan tilikan mereka kepada sesuatu yang lain untuk sentiasa tenggelam dalam lautan Musyahadah dengan Allah, maka tidaklah lagi mereka melihat kepada amal, usaha dan tadbir mereka.
Jika melimpah kesempurnaan amal ibadat pada diri, mereka tidak akan sibuk memandangnya.
Jika bersusah-payah berusaha untuk mendapatkan sedikit rezeki keperluan dunia mereka, itu hanyalah pandangan orang lain terhadapnya, sedangkan mereka sedikitpun tidak merasa susah.
Jika berkelilingan karamat dan perkara-perkara yang mencarik adat padanya, sedikit pun dipedulikan mereka.
Ini adalah kerana orang yang Wasil ini telah berada di Hadirat hampir dengan Allah. Orang yang berada di sini, akan terarah dan tertumpu seluruh pandangannya kepada Allah semata-mata. Dan apabila tenggelam dengan memandang Allah, nescaya mustahillah terlihat sesuatu itu serta Allah Yang Maha Agung lagi Maha Suci. Inilah isyarat kepada Fana Fil-Zat di mana dengannya putus segala iktibar Sifat atau Asma. Orang yang Fana Fil-Zat ini sebenarnya telah masuk dalam sempadan di luar kemampuan ilmu pengetahuan di mana tiada masuk ia di bawah ibarat dan tiada disampaikan oleh isyarat dan tiada memikirkan dia oleh cita hati. Ini adalah kerana tempat itu adalah tempat yang “suci semata-mata”. Suci dalam erti kata bersih dari segala bandingan, ibarat, kiasan dan sesuatu yang boleh diungkapkan dengan kata-kata atau isyarat.
Sukalah saya petik kata-kata Imam Ghazali sebagai tambahan bagi memperjelaskan lagi berkenaan orang-orang Wasil ini sebagaimana berikut;
“Apabila keadaan ini wujud, ianya digelar FANA, bahkan FANA DALAM FANA, bagi orang yang mengalaminya, kerana Ruh itu telah FANA dalam dirinya, bahkan FANA DALAM FANANYA, kerana ia tidak sedar dirinya dan tidak sedar tentang tidak sedarnya. Kalau ia sedar tentang tidak sedarnya, maka sedarlah ia tentang dirinya. Bagi orang yang tenggelam dalam keadaan ini , maka keadaan ini digelar dalam bahasa kiasan “persamaan”; dan dalam bahasa hakikat “penyatuan”. Di bawah hakikat-hakikat ini ada tersimpan rahsia-rahsia yang mana kita tidak bebas untuk membincangkannya.”
(Intaha: Imam Ghazali)
Kenyataan ini tidaklah bertentangan dengan keterangan Tok Pulau dalam keterangannya selepas ini yang berbunyi;
Dan orang yang Wasil itu ghaib dengan sebab pandangan hingga daripada dirinya; tiada memandang ia akan lainnya. Dan demikian itu Ghayyah Qudsiyah(sehabis-habis kehampiran dengan Allah).
Keterangan selanjutnya oleh Tok Pulau Manis
Maka adalah orang yang Salik kepada Allah Taala itu tiada melihat ia akan sesuatu daripada segala amalnya pada halnya menyangka bagi dirinya dengan ketiadaan sempurnanya.
Dan orang yang Wasil itu ghaib dengan sebab pandangan hingga daripada dirinya; tiada memandang ia akan lainnya. Dan demikian itu Ghayyah Qudsiyah(sehabis-habis kehampiran dengan Allah). Maka sanya telah menyempurnakan Allah Taala akan nikmat atas kedua Maqam itu tetapi Maqam yang kedua itu terlebih tinggi.
Keterangan Suluk
Di samping kita menemui isyarat mengenai Fana Fil Zat, keterangan selanjutnya menjelaskan tingkat atau darjah perbezaan antara orang Salik(yang telah hampir dengan Allah) dengan orang yang Wasil(yang telah sampai kepada Allah). Perbezaan dua golongan ini adalah semata-mata pada aspek pandangan atau Musyahadah atau kesedaran batinnya atau lebih tepat lagi pada “Penghayatan” Tauhid.
Orang-orang Salik yang telah dekat mencapai kehampiran dengan Allah, “tidak melihat” kepada amal ibadatnya tetapi “masih” punya kesedaran kepada wujud dirinya yang masih tidak sempurna. Berbeza dengan orang Wasil telah mencapai kesempurnaan diri dengan semata-mata memandang Allah. Telah hilang atau hapus pandangannya kepada dirinya dan yang lain-lainnya. Inilah kesudahan dan sehabis-habis kehampiran dengan Allah yang diistilah di sini sebagai Ghayyah Qudsiyah manakala di pada waktu-waktu yang lain pula, ulama sufi menggunakan istilah-istilah seperti Haramil Qudsiyyah atau Hadrat Qudsiyyah.
Kedua-dua Maqam ini sememangnya telah dianugerahkan dan disempurnakan oleh Allah Taala sebagai kemuncak nikmat kepada hamba-hamba pilihanNya di dunia ini, tetapi Maqam orang yang Wasil itu lebih tinggi daripada Maqam orang-orang Salik. Ini adalah kerana orang-orang Wasil telah teguh dan tahqiq Musyahadahnya dengan Allah dalam setiap nafasnya.
Keterangan selanjutnya oleh Tok Pulau Manis
Maka adalah hakikat Wasil mereka itu kepadaNya(Allah)[ialah] ghaib mereka itu daripada diri mereka itu; dan memandang mereka itu sempurna QudratNya(Allah). Maka tatkala sampai mereka itu kepada Maqam Makrifat dan memandang akan kesempurnaanNya(Qudrat Allah); dan didapat mereka itu akan Dia(Allah); iaitu Yang Menggerakkan dan Yang Mendiamkan semata-mata di sanalah kembali mereka itu atas hukumNya; dan ditilik mereka itu kepada segala pekerjaan itu daripada keadaan kurnia; dan terdindinglah mereka itu kepada barang yang lainnya kerana yang dipandang mereka itu akan dia dengan Dia(Allah).
Keterangan Suluk
Melanjutkan lagi keterangan mengenai orang yang Wasil, Tok Pulau Manis menjelaskan pula akan hakikat Wasil. Adapun hakikat Wasil kepada Allah itu ialah ghaib atau hapus atau fana’ perbuatan mereka, sifat-sifat mereka malah wujud diri mereka sendiri. Orang yang Wasil atau Fana Zat ini bukanlah yang pasif dan tidak berbuat-buat apa-apa, malahan amal-ibadat mereka tersangat banyak melebihi kebanyakan orang. Adalah sesuatu yang amat salah, kiranya ada pendapat yang mengatakan bahawa orang Fana Fil Zat tidak perlu lagi melakukan amal-ibadat dan gugur segala tuntutan syariat ke atasanya. Pandangan ini adalah dari mereka yang sesat; “ahli dakwa” bukannya Ahli Tasauf tulen.
Orang yang Wasil itu cuma pasif dalam memandang sesuatu yang lain. Amal ibadat yang banyak dilakukan tidak diiktibarkan dan disandarkan kepada dirinya. Mereka aktif dan ligat dengan bermusyahadah dengan Allah. Segala percakapan, pendengaran, perbuatan, usaha dan tabdir mereka adalah dari Allah, dengan Allah, kerana Allah sebagaimana maksud hadis Qudsi;
Dan sentiasalah hambaKu mendekatkan dirinya kepadaku dengan (melakukan) segala yang sunat hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, adalah
Aku yang (menjadi) pendengarannya yang ia dengar dengan dia dan
Penglihatannya yang ia melihat dengan dia, dan
Tangannya yang ia tamparkan dengan dia dan
Kakinya yang ia berjalan dengan dia……….;

(Riwayat oleh Bukhori)
Tatkala mereka sampai kepada Maqam Makrifat ini dan memandang “La Maujud bi haqqi ilaLlah” yakni tiada yang sebenar-benar wujud melainkan Allah, maka dapatlah dirasai dan disedari bahawa tidak ada yang menggerakkan dan mendiamkan sesuatu zarrah di alam ini melainkan Allah Taala. Pada pandangan dan martabat inilah mereka kembalikan setiap hikmat penzhohiran ini kepada Allah Taala. Orang yang begini mengikut guruku; Tidak lagi akan i’tirad(mengkritik) kejadian Allah,
Tidak marah pada celaan dan herdikan manusia,
Tidak suka pada pujian dan kemuliaan manusia’
Tidak berdukacita dengan bala dan musibah,
Tidak gembira dengan nikmat,
Malah sama sahaja di sisinya antara suka duka, nikmat dan musibah.
Berjelira penghayatannya dengan firman Allah “Dan Aku Yang Menjadikan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan”
Tambah guruku lagi, jika ada mereka yang mendakwa mereka bahawa adalah Ahli Maqam Wasil ini, tetapi suka dengan pujian dan kemuliaan dunia, melenting marah apabila dilentangi kata-kata dan pendapatnya, maka itu adalah “dakwa” semata-mata. Ini adalah kerana orang-orang yang Wasil itu, ditilik mereka itu kepada segala pekerjaan itu daripada keadaan kurnia; dan terdindinglah mereka itu kepada barang yang lainnya kerana yang dipandang mereka itu akan dia dengan Dia(Allah). yakni mereka hanya menilik setiap yang zhohir di alam ini sebagai keadaan kurnia Allah Taala. Tidak ada sebarang campurtangan makhluk atau fenomena alam. Dengan kata lain; Sesungguhnya Allah yang menjadi dinding kepada mereka daripada melihat makhluk dan alam ini, bukannya alam ini yang menjadi dinding kepada(untuk melihat) Allah sebagaimana pandangan tumpul kebanyakan manusia.
Tidak ada lagi pandangan dan tilikan kepada makhluk atau kepada alam. Sesuatu yang dilakukan bukanlah kerana makhluk atau alam ini bahkan bukanlah untuk kepentingan dirinya sendiri. Hemahnya semata-mata tertumpu kepada Allah. dari Allah, dengan Allah, kepada Allah dan kerana Allah.
Inilah apa yang cuba dirumuskan oleh Tok Pulau Manis sebagai menyimpulkan maksud Kalam Hikmah dan keterangannya sepanjang yang berkaitan dengan Ahli Maqam Musyahadah sebagaimana kenyataan beliau yang berikutnya;
Keterangan selanjutnya oleh Tok Pulau Manis
Dan ketahui olehmu bahawa segala kebajikan itu berhimpun dalam meninggikan hemah daripada makhluk dan zahid pada barang yang lain daripada Allah Taala.
Keterangan Suluk
Segala kebajikan itu berhimpun dalam dua perkara iaitu;
Pertama; Meninggikan hemah atau cita-cita hati hanya kepada Allah semata-mata bukannya kepada makhluk yakni;
pahala,
maqam atau hal-ahwal,
keramat,
kemuliaan, kemasyhuran, ketinggian darjat,
syurga,
dan apa sahaja selain daripada Allah.
Kedua; Dingin hati (zahid) kepada sesuatu yang lain kepada Allah.

Tinggalkan Komen
Tanda dan jenis wali Allah
Difailkan di bawah: Uncategorized — jalanakhirat @ 10:00 am


TANDA-TANDA WALI ALLAH
1. Jika melihat mereka, akan mengingatkan kita kepada Allah swt.
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya:
“Ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, wali-waliKu adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka selalu mengingatiKu dan Akupun mengingai mereka.”
Dari Said ra, ia berkata:
“Ketika Rasulullah saw ditanya: “Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”
2. Jika mereka tiada, tidak pernah orang mencarinya.
Dari Abdullah Ibnu Umar Ibnu Khattab, katanya:
10 Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6
Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’ dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6).
“Pada suatu kali Umar mendatangi tempat Mu’adz ibnu Jabal ra, kebetulan ia sedang menangis, maka Umar berkata: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Mu’adz?” Kata Mu’adz: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang bertakwa yang suka menyembunyikan diri, jika mereka tidak ada, maka tidak ada yang mencarinya, dan jika mereka hadir, maka mereka tidak dikenal. Mereka adalah para imam petunjuk dan para pelita ilmu.”
3. Mereka bertakwa kepada Allah.
Allah swt berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.. Dan bagi mereka diberi berita gembira di dalam kehidupan dunia dan akhirat”13
Abul Hasan As Sadzili pernah berkata: “Tanda-tanda kewalian seseorang adalah redha dengan qadha, sabar dengan cubaan, bertawakkal dan kembali kepada Allah ketika ditimpa bencana.”
4. Mereka saling menyayangi dengan sesamanya.
Dari Umar Ibnul Khattab ra berkata:
Hadis riwayat Nasa’i, Al Bazzar dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah jilid I hal. 6
Surah Yunus: 62 – 64
Hadisriwayat. Al Mafakhiril ‘Aliyah hal 104
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian hamba Allah ada orang-orang yang tidak tergolong dalam golongan para nabi dan para syahid, tetapi kedua golongan ini ingin mendapatkan kedudukan seperti kedudukan mereka di sisi Allah.” Tanya seorang: “Wahai Rasulullah, siapakah mereka dan apa amal-amal mereka?” Sabda beliau: “Mereka adalah orang-orang yang saling kasih sayang dengan sesamanya, meskipun tidak ada hubungan darah maupun harta di antara mereka. Demi Allah, wajah mereka memancarkan cahaya, mereka berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, mereka tidak akan takut dan susah.” Kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
5. Mereka selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa”Rasulullah saw bersabda:
Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I, hal 5
“Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.”
Rasulullah saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal kerana akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.” Kemudian Rasulullah saw menangis kerana rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat.”
6. Mereka selalu terhindar ketika ada bencana.
Dari Ibnu Umar ra, katanya:
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang diberi makan dengan rahmatNya dan diberi hidup dalam afiyahNya, jika Allah mematikan mereka, maka mereka akan dimasukkan ke dalam syurgaNya. Segala bencana yang tiba akan lenyap secepatnya di hadapan mereka, seperti lewatnya malam hari di hadapan mereka, dan mereka tidak terkena sedikitpun oleh bencana yang datang.”
Rujukan:-
Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’
Hadis riwayat Abu Hu’aim dalam kitab Al Hilya
Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6
8. Hati mereka selalu terkait kepada Allah.
Imam Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. . Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka.”
9. Mereka senang bermunajat di akhir malam.
Imam Ghazali menyebutkan: “Allah pernah memberi ilham kepada para siddiq: “Sesungguhnya ada hamba-hambaKu yang mencintaiKu dan selalu merindukan Aku dan Akupun demikian. Mereka suka mengingatiKu dan memandangKu dan Akupun demikian. Jika engkau menempuh jalan mereka, maka Aku mencintaimu. Sebaliknya, jika engkau berpaling dari jalan mereka, maka Aku murka kepadamu. ” Tanya seorang siddiq: “Ya Allah, apa tanda-tanda mereka?” Firman Allah: “Di siang hari mereka selalu menaungi diri mereka, seperti seorang pengembala yang menaungi kambingnya dengan penuh kasih sayang, mereka merindukan terbenamnya matahari, seperti burung merindukan sarangnya. Jika malam hari telah tiba tempat tidur telah diisi oleh orang-orang yang tidur dan setiap kekasih telah bercinta dengan kekasihnya, maka mereka berdiri tegak dalam solatnya. Mereka merendahkan dahi-dahi mereka ketika bersujud, mereka bermunajat, menjerit, menangis, mengadu dan memohon kepadaKu. Mereka berdiri, duduk, ruku’, sujud untukKu. Mereka rindu dengan kasih sayangKu. Mereka Aku beri tiga kurniaan: Pertama, mereka Aku beri cahayaKu di dalam hati mereka, sehingga mereka dapat menyampaikan ajaranKu kepada manusia. Kedua, andaikata langit dan bumi dan seluruh isinya ditimbang dengan mereka, maka mereka lebih unggul dari keduanya. Ketiga, Aku hadapkan wajahKu kepada mereka. Kiranya engkau akan tahu, apa yang akan Aku berikan kepada mereka?”
Rujukan:-
Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal.. 80
Ihya’ Ulumuddin jilid IV hal 324 dan Jilid I hal 358
10. Mereka suka menangis dan mengingat Allah.
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahsia, kerana mereka takut mendapat siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya. Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang. Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayangNya. Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy. Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah yang artinya: “Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.”
11. Jika mereka berkeinginan, maka Allah memenuhinya.
Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul saw bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.”
Ketika Barra’ memerangi kaum musyrikin, para sahabat: berkata: “Wahai Barra’, sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda: “Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh kerana itu, berdoalah untuk kami.” Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan.
Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai syahid.
Rujukan:-
Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I, hal 16
12. Keyakinan mereka dapat menggoncangkan gunung.
Abdullah ibnu Mas’ud pernah menuturkan:
“Pada suatu waktu ia pernah membaca firman Allah: “Afahasibtum annamaa khalaqnakum ‘abathan”, pada telinga seorang yang pengsan. Maka dengan izin Allah, orang itu segera sedar, sehingga Rasuulllah saw bertanya kepadanya: “Apa yang engkau baca di telinga orang itu?” Kata Abdullah: “Aku tadi membaca firman Allah: “Afahasibtum annamaa khalaqnakum ‘abathan” sampai akhir surah.” Maka Rasul saw bersabda: “Andaikata seseorang yakin kemujarabannya dan ia membacakannya kepada suatu gunung, pasti gunung itu akan hancur.”
- Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Al Hilya jilid I hal 7
PEMBAHAGIAN WALI-WALI ALLAH
1. Al-Aqtab
Al Aqtab berasal dari kata tunggal Al Qutub yang mempunyai erti penghulu. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Al Aqtab adalah darjat kewalian yang tertinggi. Jumlah wali yang mempunyai darjat tersebut hanya terbatas seorang saja untuk setiap masanya. Seperti Abu Yazid Al Busthami dan Ahmad Ibnu Harun Rasyid Assity. Di antara mereka ada yang mempunyai kedudukan di bidang pemerintahan, meskipun tingkatan taqarrubnya juga mencapai darjat tinggi, seperti para Khulafa’ur Rasyidin, Al Hasan Ibnu Ali, Muawiyah Ibnu Yazid, Umar Ibnu Abdul Aziz dan Al Mutawakkil.
2. Al-A immah
Al Aimmah berasal dari kata tunggal imam yang mempunyai erti pemimpin. Setiap masanya hanya ada dua orang saja yang dapat mencapai darjat Al Aimmah. Keistimewaannya, ada di antara mereka yang pandangannya hanya tertumpu ke alam malakut saja, ada pula yang pandangannya hanya tertumpu di alam malaikat saja.
3. Al-Autad
Al Autad berasal dari kata tunggal Al Watad yang mempunyai erti pasak. Yang memperoleh darjat Al Autad hanya ada empat orang saja setiap masanya. Kami menjumpai seorang di antara mereka dikota Fez di Morocco. Mereka tinggal di utara, di timur, di barat dan di selatan bumi, mereka bagaikan penjaga di setiap pelusuk bumi.
4. Al-Abdal
Al Abdal berasal dari kata Badal yang mempunyai erti menggantikan. Yang memperoleh darjat Al Abdal itu hanya ada tujuh orang dalam setiap masanya. Setiap wali Abdal ditugaskan oleh Allah swt untuk menjaga suatu wilayah di
bumi ini. Dikatakan di bumi ini mempunyai tujuh daerah. Setiap daerah dijaga oleh seorang wali Abdal. Jika wali Abdal itu meninggalkan tempatnya, maka ia akan digantikan oleh yang lain. Ada seorang yang bernama Abdul Majid Bin Salamah pernah bertanya pada seorang wali Abdal yang bernama Muaz Bin Asyrash, amalan apa yang dikerjakannya sampai ia menjadi wali Abdal? Jawab Muaz Bin Asyrash: “Para wali Abdal mendapatkan darjat tersebut dengan empat kebiasaan, yaitu sering lapar, gemar beribadah di malam hari, suka diam dan mengasingkan diri”.
5. An-Nuqaba’
An Nuqaba’ berasal dari kata tunggal Naqib yang mempunyai erti ketua suatu kaum. Jumlah wali Nuqaba’ dalam setiap masanya hanya ada dua belas orang. Wali Nuqaba’ itu diberi karamah mengerti sedalam-dalamnya tentang hukum-hukum syariat. Dan mereka juga diberi pengetahuan tentang rahsia yang tersembunyi di hati seseorang. Selanjutnya mereka pun mampu untuk meramal tentang watak dan nasib seorang melalui bekas jejak kaki seseorang yang ada di tanah. Sebenarnya hal ini tidaklah aneh. Kalau ahli jejak dari Mesir mampu mengungkap rahsia seorang setelah melihat bekas jejaknya. Apakah Allah tidak mampu membuka rahsia seseorang kepada seorang waliNya?
6. An-Nujaba’
An Nujaba’ berasal dari kata tunggal Najib yang mempunyai erti bangsa yang mulia. Wali Nujaba’ pada umumnya selalu disukai orang. Dimana sahaja mereka mendapatkan sambutan orang ramai. Kebanyakan para wali tingkatan ini tidak merasakan diri mereka adalah para wali Allah. Yang dapat mengetahui bahawa mereka adalah wali Allah hanyalah seorang wali yang lebih tinggi darjatnya. Setiap zaman jumlah mereka hanya tidak lebih dari lapan orang.
7. Al-Hawariyun
Al Hawariyun berasal dari kata tunggal Hawariy yang mempunyai erti penolong. Jumlah wali Hawariy ini hanya ada satu orang sahaja di setiap zamannya. Jika seorang wali Hawariy meninggal, maka kedudukannya akan di-ganti orang lain. Di zaman Nabi hanya sahabat Zubair Bin Awwam saja yang mendapatkan darjat wali Hawariy seperti yang dikatakan oleh sabda Nabi:
“Setiap Nabi mempunyai Hawariy. Hawariyku adalah Zubair ibnul Awwam”.
Walaupun pada waktu itu Nabi mempunyai cukup banyak sahabat yang setia dan selalu berjuang di sisi beliau. Tetapi beliau saw berkata demikian, kerana beliau tahu hanya Zubair sahaja yang meraih darjat wali Hawariy. Kelebihan seorang wali Hawariy biasanya seorang yang berani dan pandai berhujjah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar